Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP No. 63 Tahnun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Yang berminat silakan klik PP ini: PP No. 2 Tahun 2013 Perubahan PP 63 Thn 2008
Bagi yang belum memiliki UU-nya, UU Ttg Yayasan berikut perubahannya, Klik:
1. UU No. 28 Tahun 2008, tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001:
Assalamu’alaikum. Bapak yg baik hati ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan yakni:
saya mempunyai yayasan yang berbadan hukum tahun 1985 menempati tanah waqaf dengan 3 unit pendidikan. dalam perjalanannya salah satu unit kita upayakan jadi sekolah negeri, dalam rangka peningkatan sekolah negeri Kepala Sekolah mengajukan bantuan gedung, karena aturan baru gak bisa, kami disarankan tuk dipindahkan nadzirnya agar dapat bantuan yang kami tanyakan :
1. Bagaimana tentang status sertifikat jika sudah kita serahkan nadzirnya? apa tetep bunyinya tanah waqaf atau tanah pemerintah?
2. Apa memang jadi persyaratan sekolah negeri dapat bantuan harus tanah pemerintah?
Atas penjelasannya kami sampaikan terima kasih..
==============
Tanggapan:
Wa’alaykumussalam
Bapak Hasanul Bisri,
Tanggapan saya adalah sbb:
1. Mengacu pada UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, maka yang dapat menjadi Nazhir adalah:
a. Perseorangan;
b. Organisasi; atau
c. Badan hukum
Dengan demikian, pemerintah bukan pihak yang dapat menjadi Nazhir.
2. Jika suatu sekolah telah menjadi sekolah negeri, maka pengelolaan ada pada pemerintah
Demikian semoga bermanfaat
Ismail Marzuki</em>
Assalamu’alaikum. bapak ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan yakni:
saya mempunyai yayasan yang berdiri sekitar tahun 1979, dalam perjalanannya pengurus membeli tanah memakai uang yayasan, akan tetapi karena waktu itu yayasan tidak boleh memiliki hak milik atas tanah, maka organ yayasan yang lain sepakat untuk meminjam nama salah satu pengurus sampai akhirnya dalam sertifikat tersebut tertulis nama yang bersangkutan. pemilik nama dalam sertifikat tanah tersebut kini telah meninggal dan permasalahanpun muncul dari ahli warisnya yang menginginkan pengembalian lahan tanah tersebut. apa yang harus kami lakukan terkait kasus tersebut?. mohon penjelasannya
======
Tanggapan
Wa’alaykumussalam
Bpk Alim,
Permasalahan seperti ini memang sering muncul di tengah masyarakat mengingat pada saat transaksi jual beli tanah biasanya berlaku prinsip saling percaya diantara pengurus yayasan. Permasalahan baru muncul pada saat pengurus tersebut wafat.
Dari sisi hukum pertanahan, tanah tersebut adalah sah milik pewaris (yang namamya tercantum di sertipikat tanah) dan bukan milik yayasan. Meskipun demikian, pihak yang namanya tercantum di sertipikat atau para ahli warisnya dapat dituntut untuk mengembalikan dana yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.
Ahli waris harus dijelaskan mengenai latar belakang pembelian tanah tersebut. Apabila ahli waris dapat menerima keadaan tersebut, maka untuk proses selanjutnya adalah melakukan balik nama ke atas nama yayasan. Hak atas tanah yang dimungkinkan adalah Hak guna Bangunan.
Apabila ahli waris menolak, yayasan dapat menuntut agar ahli waris mengembalikan dana yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.
Jalan keluar yang dapat dilakukan adalah sbb:
1. Berikan penjelasan kepada ahli waris mengenai latar belakang penggunaan nama pewaris di dalam sertipikat tanah.
2. Tunjukkan bukti-bukti bahwa tanah tersebut dibeli dengan uang yayasan
3. Bukti-bukti yang dapat diajukan adalah antara lain: (a) Notulen rapat yayasan mengenai rencana pembelian tanah; (b) catatan/pembukuan yayasan yang menunjukkan adanya dana yayasan yang keluar untuk pembelian tanah; (c) kuitansi-kuitansi yang menunjukkan bahwa dana tersebut dari yayasan; (d) kesaksian dari pihak-pihak yang mengetahui proses jual beli tanah tersebut terutama yang hadir pada saat penandatanganan akta jual beli tanah.
Demikian, semoga bermanfaat
Wassalam
Ismail Marzuki
Selamat siang Pak Is
Mohon bantuan penjelasan ttg hal-hal sbb :
1. Di dalam UU Yayasan No.28/2004 Pasal 52 (4), ” Hasil Audit terhadap laporan keuangan Yayasan disampaikan kepada Pembina Yayasan Ybs dan tembusannya disampaikan kepada Mentri dan Instansi terkait. Yang kami tanyakan Kementrian mana ya Pak.
2. Perihal sewa menyewa gedung kantor atau yang lainnya. Apakah Yayasan boleh sebagai Subyek Hukum dalam hal ini artinya Yayasan sebagai pihak yang menyewakan secara langsung kepada pihak lain.
====
Tanggapan:
Bpk Budi,
1. Yang dimaksud dengan Menteri adalah Kementrian Hukum dan HAM
2. Sepanjang anggaran dasar Yayasan tidak melarang transaksi tersebut, maka Yayasan dapat bertindak sebagai subyek hukum sebagai yang menyewakan.
Demikian, terima kasih
Ismail Marzuki
Demikian kami sampaikan, atas perhatian serta kerjasamanya kami ucapkan terima kasih
Andai kata yayasan itu belum lahir dan telah membuat pembatalan. Maksudnya akte sudah ada tetapi belum dimintakan pengesahannya ke menteri dan kemudian dibatalkan dengan akte pembatalan. Tetapi ada aset berupa bangunan dan tanah nya yang masih kontrak. Maka bagaimana sebaiknya tindak lanjutnya?
====
Tanggapan:
Bpk Harmani
Apabila Yayasan belum memperoleh pengesahan dari Menteri berarti status yayasan sebagai badan hukum belum lahir. Jika dilakukan pembatalan maka aset yang sebelumnya dimaksudkan sebagai aset yayasan, kembali pada masing-masing pendiri. Dalam kasus tersebut, bangunan yang dikontrak, hak untuk menikmati bangunan tersebut ada pada pendiri. Jika ingin diuangkan, maka bangunan tersebut dikontrakkan lagi kepada pihak lain (dengan izin pemiliknya) atau dikembalikan kepada pemiliknya dengan ganti rugi, dan uangnya dikembalikan kepada pendiri.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Slmt malam Pak Ismail
Kami mohon arahan dan penjelasan mengenai yayasan yang ada di komplek perumahan kami domisili. pada tahun 2003 kami masyarakat/jamaah Masjid mendirikan Yayasan yang telah didaftarkan ke Notaris & telah mendapat Akte Notaris, kami juga sdh mempunyai AD/ART ( Notaris masih mengacu UU lama sebelum No 16 thn 2001) yang Organya Badan Pediri ada Sekjen Badan Pendiri & Badan Pengurus, sesuai AD/ART kami sudah melaksanakan 3 periode Badan Pengurus, teapi pengus yg terakhir ini kurang amanah sehingga sampai akhir jabatan bln Juli 2010 belum mau diadakan peremajaan sehingga kami badan pendiri menargetkan tgl. 30 Januari diadakan peremajaan, dengan manufer untuk melegalkan mempertahankan sebagai ketua Yayasan menunjuk konsultan Hukum. pertanyaan kami sbb:
Menurut konsultan Hukum Yayasan:
1. bahwa Yayasan, Badan Pendiri, AD/ART yang dulu tdak ada, batal demi hukum menurut UU No. 16 thn 2001?.
2. Yayasan, BP, Bdn Pengurus Bubar dengan sendirinya tanpa harus dibubarkan dan secara otomatis badan Pengurus menjadi Kurator ( tanpa minta persettujuan masyarakat )?,
3. Kurator berhak menentukan pembina dan pengawas?
Kami sangat prihatin dengan kejadian ini, kami ingin Masjid Kami dikembalikan kepada Masyarakat, kalau sekarang seolah-olah dikuasai oleh kurator, kami mengharapkan jamaah kami bersatu, bagaimana untuk menghadapi kurator ini, mengingat informasi yang kami dengar sudah mendaftarkan ulang kepada notaris dengan beberapa orang pengikut kurator tersbt, sebenarnya kami masih membutuhkan Yayasan tapi perlu musyawarah dg masyarakat tidak sepihak, terima kasih sebelumnya atas bantuan Bapak untuk memecahkan masalah kami
=====
Tanggapan:
Yth Pak Tukiman, tanggapan saya adalah sebagai berikut:
1. Mengacu pada ketentuan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, khususnya Pasal 71, tidak dikenal istilah batal demi hukum atas suatu yayasan yang pendiriannya tidak sesuai dengan undang-undang yayasan. Pasal 71 ayat 4 UU No. 28 Tahun 2004 menyebutkan: “Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”
Berdasarkan pasal 71 ayat 4 tersebut, maka yayasan yang belum menyesuaikan AD/ART-nya tidak secara otomatis bubar atau tidak batal demi hukum, akan tetapi DAPAT DIBUBARKAN berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
2. Mengenai likuidator atau kurator, maka apabila yayasan bubar berdasarkan putusan pengadilan negeri, maka pengadilan yang menunjuk likuidator (pasal 64 ayat 1 UU No 16 Tahun 2001)
3. Tugas likuidator atau kurator adalah melakukan pemberesan atas hak dan kewajiban yayasan yang sedang dalam proses likuidasi dan bukan untuk mengangkat pengurus baru di yayasan (pasal 63 ayat 3 UU No. 16 tahun 2001). Bagaimana mungkin mengangkat pengurus baru sedangkan yayasannya dalam proses pembubaran?
Perlu diperhatikan bahwa:
a. Seseorang yang bertindak sebagai kurator harus mempunyai izin sebagai kurator. Izin tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM
b. Ada 3 (tiga) sebab yayasan dibubarkan:
(i) Jangka waktu yang ditetapkan dalam AD berakhir
(ii) tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
(iii) putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan :
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3) harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
c. Yayasan yang tidak menyesuaikan AD-nya, DAPAT DIBUBARKAN berdasarkan PUTUSAN PENGADILAN
d. Apabila yayasan bubar berdasarkan putusan pengadilan negeri, maka pengadilan yang menunjuk likuidator, dengan demikian harus dipertanyakan dasar hukum dari kehadiran likuidator atau kurator di yayasan bapak tersebut apakah kehadirannya karena ditunjuk oleh pengadilan atau bukan.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Sore, Pak
Mohon penjelasan mengenai Pasal 7 ayat 2 dimana Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tsb paling banyak 25% dari seluruh kekayaan Yayasan. Yang kami tanyakan :
1. 25 % ini untuk 1 penyertaan atau seluruh penyertaan yang ada (bisa lebih dari 1).
2. Apa perbedaan pernyertaan langsung dengan tidak langsung.
3. Untuk pertanyaan yang ke-3 ini, menyimpang dari dari Pasal di atas. Apakah Yayasan boleh meminjamkan uang dengan atas nama Yayasan? Kalau boleh pinjaman ini dalam bentuk apa?
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Salam
Aryo
=======================================================================
TANGGAPAN
Yth Pak Aryo,
Tanggapan atas pertanyaan:
1. Angka 25 % tersebut dihitung dari seluruh kekayaan Yayasan dan bukan pada jumlah penyertaan. Misalnya, seluruh kekayaan Yayasan adalah Rp 100 juta, Yayasan akan melakukan penyertaan pada 2 jenis penyertaan (penyertaan A dan penyertaan B), maka total penyertaan tersebut tidak boleh melebihi Rp 25 juta, jadi di A misalnya Rp 10 juta, dan di B Rp 15 juta.
2. Yang dimaksud Penyertaan langsung adalah penyertaan saham pada perusahaan secara langsung yang tidak melalui pasar modal (atau saham yang tidak tercatat di bursa efek) misalnya A memiliki saham di PT B (PT B bukan perusahaan publik). Penyertaan tidak langsung misalnya; A memiliki 80% saham di PT B, dan PT B memiliki 70% saham di PT C, maka dalam hal ini A melakukan penyertaan tidak langsung pada PT C.
3. UU Yayasan tidak melarang adanya pinjaman dari Yayasan. Yang perlu diperhatikan adalah agar pinjaman tersebut tidak diberikan kepada Pembina, Pengawas dan Pengurus karena terbuka kemungkinan adanya pengalihan kekayaan secara terselubung kepada Pembina, Pengawas dan Pengurus dengan dalih pinjaman, padahal yayasan dilarang mengalihkan kekayaan kepada ketiga organ tersebut.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Assalamu’alaikum Wr Wb
Masa jabatan pembina tidak diatur di UU Yayasan, beda dengan Pengurus dan Pengawas. Yang saya tanyakan, apakah dapat masa jabatan Pembina bisa dibatasi jika Yayasan tsb dibawah naungan kantor BUMN / Pemerintah. Apabila dapat dibatasi, maka dicantumkan dimana? AD Yayasan atau ADRT Yayasan atau dibuatkan perjanjian tersendiri (seperti kontrak kerja) begitu. Mohon penjelasannya dan saran/usul dari Pak Is.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian & kerjasamanya kami ucapkan terima kasih
Tanggapan:
Bu Dhea, memang benar dalam UU Yayasan tidak secara tegas diatur mengenai masa jabatan pembina. Meskipun demikian, bukan berarti jabatan pembina tidak dapat dibatasi. Justru karena tidak ada pengaturan tegas, maka pendiri atau organ yayasan dapat menentukan sendiri masa jabatan pembina atau sebab-sebab berakhirnya jabatan pembina.
Pada dasarnya, walaupun tidak ada pengaturan tegas dalam UU Yayasan, kita dapat mengetahui adanya “pembatasan” masa jabatan pembina berdasarkan penafsiran dari pasal-pasal dalam UU yayasan dan dalam Peraturan Pemerintah.
– Pasal 14 ayat 2 huruf F UU Yayasan (UU No. 16 thn 2001): Anggaran Dasar Yayasan sekurang-kurangnya memuat tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas;
– Pasal 28 ayat 4 UU Yayasan (UU No. 16 thn 2001): Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
– Penjelasa Pasal 19 ayat 1 PP No. 68 Thn 2008: Yang dimaksud dengan “perubahan data Yayasan” adalah perubahan yang bukan merupakan perubahan Anggaran Dasar.
Contoh: – Perubahan nama Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan.
Dari tiga ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa jabatan pembina bukan tidak terbatas (lihat pasal 14 ayat 2 f: “PENGGANTIAN ANGGOTA PEMBINA“, Pasal 28 ayat 4: “TIDAK LAGI MEMPUNYAI PEMBINA“, Penjelasan Pasal 19 ayat 1 PP No. 68 Thn 2008: “PERUBAHAN NAMA PEMBINA“)
jadi, menurut saya, untuk mengatur masa jabatan Pembina dapat diatur di akta pendirian atau anggaran dasar yayasan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum Pak Is..
Apakah aset milik yayasan dapat di jual khususnya berupa tanah bersertifikat atas nama yayasan dalam rangka mendapat dana tunai untuk perluaan operasional dan pengembangan yayasan?.
Jika diperbolehkan mohon, bagaimana tatacara menjualnya?.
Apa mungkin dengan cara ruislag dan bagaimana tatacaranya?
Mohon penjelasannya Pa. Terimakasih.
Wass.
Hilman Badruzaman
==================
Tanggapan
Wa’alaykumussalam
Pak Hilman,
Pada dasarnya untuk kepentingan yayasan tidak ada larangan bagi yayasan untuk mengalihkan kekayaannya kepada pihak lain (selain Pembina, Pengurus dan Pengawas) sepanjang pengalihan tersebut telah mendapat persetujuan dari Pembina yayasan.
Jika berkaitan dengan tanah, maka jenis-jenis pengalihan atas tanah yang dapat dilakukan oleh yayasan antara lain berupa jual beli atau tukar menukar tanah. Jika yang dimaksud dengan ruislag adalah menukar tanah yayasan dengan tanah pihak lain, maka masuk ke dalam kategori tukar menukar, dan menurut hukum pertanahan hal ini dimungkinkan (Pasal 37 PP Nomor 24 tahun 2007).
Proses yang harus dilakukan sekurang-kurangnya adalah:
1. Lakukan penilaian kelayakan atas tanah pihak lain yang akan ditukar dengan tanah yayasan, apakah nilai pertukaran tersebut sebanding dengan nilai/harga tanah yayasan. Meskipun proses ini bukan bagian dari proses hukum tukar menukar, akan tetapi sebaiknya Pengurus melakukan hal ini untuk mencegah adanya kerugian bagi yayasan. Jika dikemudian hari diketahui yayasan dirugikan oleh transaksi ini, misalnya tanah yayasan dinilai rendah padahal harga saat itu tinggi, maka keadaan yang demikian dapat menyulitkan pengurus yayasan. Pengurus yayasan dapat dituduh telah menerima “suap” untuk memuluskan tukar menukar tersebut.
2. Buat persetujuan tertulis dari Pembina yayasan atas transaksi tukar menukar tersebut
3. Hubungi Pejabat Pembuat Akta Tanah yang wilayah kerjanya di lokasi letak tanah berada.
Demikian tanggapan saya
Wassalam
Ismail Marzuki
Assalamualaikum Pak Is..
Saya mau menyambung pertanyaan yang pak Is tanggapin kemarin. crita awalnya sebagai berikut pak Is :
Awal pendirian yayasan tersebut adalah tahun 1980 dimana meneruskan yayasan yang pernah ada di tahun 1817, dimana yang mendirikan yayasan tersebut adalah ketua perhimpunan. Pada tahun 1982 akte yayasan dirubah sebagai akibat dari muktamar perhimpunan dimana ada hal yang dirubah yaitu….. Kemudian pada tahun 1995 pendiri yayasan tersebut meninggal dan terjadi kevakuman pengurus yayasan selain karena pengurus yayasan yang lain sudah tua. Pada tahun 2004 dengan inisiatif sendiri anak dari pendiri yayasan yang juga ketua bidang pendidikan perhimpunan tersebut menggunakan sebagian sertifikat milik yayasan yang diatasnamakan pribadi pembina yayasan diagunkan untuk meminjam uang ke bank selama 3 kali yang digunakan untuk membeli tanah dan membangun sekolah. Karena terjadi konflik pimpinan perhimpunan pusat dan dimenangkan oleh pihak lawan dari ketua perhimpunan daerah tesebut maka si ketua perhimpunan yang mengagunkan sertipikat tersebut melepaskan urusan dengan perhimpunan dan lebih memilih ke yayasan dengan membuat akte baru tahun 2007 dimana dasarnya adalah terusan dari akte yayasan tahun 1982. Karena merasa yayasan adalah hal yang tidak terpisahkan dari perhimpunan maka pihak perhimpunan mengklaim aset yayasan adalah aset perhimpunan. sehingga….
1. Masalah perhimpunan kemarin bukan merupakan badan hukum, tetapi dalam AD/ART perhimpunan mengisyaratkan bahwa para ketua cabang perhimpunan didaerah untuk mendirikan yayasan yang salah satu fungsinya mengelola aset dan mengembangkannya.
2. Apakah sertifikat yang diatasnamakan pribadi tersebut apabila ditulis dalam aset yayasan dan ditandatangani oleh semua pengurus yayasan dapat melepaskan dari jeratan pasal 5 UU yayasan?
3. Sebagian hasil pinjam bank yang mengagunkan sertifikat tanah milik yayasan tahu 2004 oleh si pembina yayasan digunakan untuk membeli tanah yang sekarang sudah berdiri sekolah, namun sertifikatnya diatasnamakan pribadi si pembina yayasan, sedangkan pada akte perubahan yang dibuat tahun 2007 akte2 atas nama pribadi tersebut tidak dimasukkan ke dalam akte yayasan, namun hanya ditulis dalam aset yayasan yang ditandatangani oleh seluruh pengurus yayasan. bagaimana menurut pendapat bapak.
…. Pak Is mungkin ini dulu yang dapat saya sampaikan mohon maaf terlalu panjang yang saya tulis… mudah2an Pak Is tidak bosan dan tetap menanggapi permasalahan saya. Terima kasih..
Wasalam…
Tanggapan
Wa’alaykumussalam
Pak Ponco,
Sertipikat tanah yang tertulis atas nama pribadi organ yayasan, apabila uang pembelian tanah tersebut berasal dari yayasan maka dapat memunculkan kecruigaan adanya pengalihan aset yayasan ke dalam aset pribadi. Meskipun demikian dalam praktek dapat terjadi dimana suatu yayasan yang bermaksud membeli tanah Hak Milik “dengan terpaksa” menggunakan dan mencantumkan nama organ yayasan (pembina, pengurus atau pengawas) dalam sertipikat tanah yang dibeli dengan pertimbangan untuk memudahkan proses jual beli mengingat jika mencantumkan nama Yayasan diperlukan prosedur yang agak panjang. Sebagai contoh jika yayasan hendak membeli tanah hak milik maka tanah tersebut harus diubah menjadi Hak Guna Bangunan agar dapat dimiliki yayasan. Dari sisi kepemilikan, tanah tersebut bukan menjadi aset yayasan karena dalam sertipikat tidak tercantum nama yayasan. Adanya pernyataan dari organ yayasan mengenai kondisi sebenarnya atas tanah tersebut, dari sisi hukum pertanahan tidak mengubah status kepemilikan tanah tersebut yaitu sepanjang di sertipikat tidak tercantum nama yayasan maka tanah tersebut bukan tanah yayasan. Pernyataan organ yayasan hanya berguna untuk melindungi organ yayasan dari sangkaan adanya pengalihan aset yayasan ke pribadi organ yayasan sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 UU Yayasan.
Demikian tanggapan saya
Ismail Marzuki
Assalamualaikum Pak Is.. Selamat ya Pak untuk blognya bagus banget, semoga bermanfaat untuk kita semua.
Saya ingin menanyakan hal2 mengenai yayasan :
1. Apabila suatu organisasi perhimpunan mendirikan sebuah yayasan dengan tujuan untuk mengelola aset2 organisasi tersebut, kemudian yayasan tersebut ingin memisahkan diri dari organisasi tersebut dengan alasan menyesuaikan UU yayasan yg baru dimana yayasan tidak boleh berafiliasi dengan organisasi apapun (permasalahan sebenarnya karena adanya konflik organisasi dan perebutan aset antara organisasi dan yayasan). Bagaimana menurut pendapat Pak Is?
2. Apakah aset yayasan (sertifikat tanah) dapat atau boleh diatasnamakan pribadi (pembina, pengurus) yayasan? Kalau boleh syaratnya apa, kalau tidak boleh apa sanksi hukumnya?
3. Siapa sajakah yang boleh melaporkan misalnya ada suatu tindak pidana (mis : penggelapan) di yayasan oleh pembina, pengurus yayasan?
4. Apakah saya bisa konsultasi melalui e-mail Pak Is, karena banyak hal yang akan saya tanyakan.
Trimakasih Pak, maaf kalau pertanyaan saya banyak dan kurang jelas…
Tanggapan:
Wa’alaikumussalam
Terima kasih atas kunjungannya ke blog saya.
Menanggapi pertanyaan Bpk Ponco, berikut ini jawaban saya;
1. Sebelumnya saya ingin bertanya apakah organisasi perhimpunan tersebut berbentuk badan hukum atau bukan? Karena yang dapat mendirikan yayasan hanyalah ORANG, yaitu orang perseorangan atau BADAN HUKUM. Dalam UU ttg Yayasan, tidak ada larangan bagi yayasan untuk terafiliasi dengan organisasi lain. Yang dilarang adalah apabila yayasan mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi.
Pendirian suatu yayasan dilakukan oleh Pendiri. Pendiri pada yayasan, berbeda dengan Pendiri pada Perseroan Terbatas (PT). Dalam PT, Pendiri PT “memiliki” PT melalui saham yang dimilikinya, sedangkan pada yayasan, Pendiri Yayasan tidak pernah “memiliki” yayasan tetapi hanya mendirikan saja dengan menyerahkan harta kekayaan pendiri sebagai kekayaan awal yayasan. Dengan demikian, ketika Pendiri yayasan mendirikan yayasan dengan memasukkan aset tertentu, maka aset itu telah terputus hubungan kepemilikannya dengan Pendiri dan aset itu menjadi aset yayasan. Selain itu, apabila Pendiri tersebut tidak duduk sebagai Pembina, Pengurus atau Pengawas, maka Pendiri tidak lagi memiliki hubungan organisatoris dengan yayasan sehingga secara hukum tidak ada istilah pemisahan yayasan dari organisasi perhimpunan yang mendirikan yayasan tersebut.
2. Yayasan adalah badan hukum, artinya yayasan memiliki aset terpisah dari aset pendiri maupun pembina, pengurus dan pengawas. Suatu aset dapat disebut sebagai aset yayasan apabila aset tersebut tertulis atas nama yayasan. Dalam hukum pertanahan, sertipikat adalah bukti hak atas kepemilikan tanah sehingga nama yang tercantum dalam sertipikat adalah nama pemilik tanah tersebut. Apabila aset yayasan tertulis atas nama pihak lain, maka secara hukum yayasan dinyatakan belum memiliki aset tersebut. Mengacu pada Pasal 5 UU Yayasan, yayasan dilarang mengalihkan asetnya kepada pembina, pengurus atau pengawas. Sanksi atas pengalihan tersebut adalah pidana penjara 5 tahun. Penggunaan nama pembina, pengurus atau pengawas dalam sertipikat tanah milik yayasan dapat mengindikasikan adanya pengalihan kekayaan yayasan.
3. Mengacu pada ketentuan pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis
4. Sebaiknya komunikasi dilakukan melalui blog ini saja.
Demikian tanggapan saya, semoga bermanfaat
Wassalam
Ismail Marzuki
saya mau tanya mengenai yayasan amallillah pimpinan raden aiyon suharis restu ningrat alias h agus winarto,dengan ketidak pahaman kami selama ini maka dengan ini kami ingin menanyakan : apa benar yayasan amallillah itu punya dana triliyunan sebab kami didaerah sudah banyak sekali dirugikan oleh yayasan tersebut ada yang jual rumah,jual kebun dan sebagainya katanya yayasan amallillah akan mencairkan dananya dari tahun 1998 s/d 2010 ini hanya janji janji saja yang kami terimah mohon penjelasannya pak terimah kasih
======
Ibu Rossa,
Mohon maaf saya tidak memiliki informasi mengenai yayasan tersebut.
Terima kasih
Ismail Marzuki
Bismillahirrohmanirrohim
assalamualaikum wr.wb
puji syukur pada Illahi robbi. terima kasih banyak kepada Bapak dengan adanya web ini saya terbantu mengenal uu dan pp tentang yayasan semoga Alloh membalas tujuan Bapa dalam membuat web ini sungguh sangat bermanffat. salam saya untuk bapa
wassalam
==========
Wa’alaykumussalam
Amin, terima kasih atas doanya, semoga blog ini bermanfaat.
Wassalam
Ismail Marzuki
saya mau tanya apakah yayasan yang bergerak dibidang penerimaan dan penyaluran zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf diperbolehkan untuk memiliki unit usaha?
unit usaha yang didirikan itu bertujuan untuk menopang kemandirian yayasan karena yayasan tersebut memiliki komitmen untuk tidak mengambil bagian dana dari donasi masyarakat untuk biaya gaji dan biaya operasional. hasil unit usaha akan dikurangkan dengan biaya gaji dan biaya operasional sehingga dana donasi masyarakat 100% untuk penyaluran berbagai program sosial yang dimilikinya.
sedangkan jika ada keuntungan dari unit usaha itu bagaimana?
karena sepengetahuan saya, unit usaha biasanya didirikan untuk mencari/memperoleh laba.
apakah diperbolehkan yayasan mencari/memperoleh laba dari unit usahanya? saya minta tolong untuk diberi penjelasan dasar hukumnya dari Pak Ismail Marzuki yang ahli hukum… terima kasih banyak atas infonya.
Tanggapan:
Mas Ferdian,
Sepanjang pengetahuan saya, Yayasan dibolehkan memiliki unit usaha untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Selain itu, kekayaan yayasan tidak boleh dibagikan kepada pendiri, pembina, pengawas dan pengurus yayasan. Dengan demikian, apabila yayasan mendapat laba, maka laba itu digunakan untuk kegiatan yayasan dan bukan untuk dibagikan kepada pendiri, pembina, pengawas dan pengurus yayasan
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
selamat pagi pak Is,
pak Is saya mau menanyakan juga mengenai yayasan khususnya masalah konsolidasi:
1. Apakah yayasan juga wajib konsolidasi seperti PT (sesuai UU PT) jika kepemilikan penyertaan terhadap suatu perusahaan di atas 50 % harus dikonsolidasi?
2. Jika perusahaan (yang didirikan yayasan)mempunyai hutang apakah di dalam laporan keuangan yayasan harus di konsolidasi & sedangkan yayasan tidak diperbolehkan sebagai penjamin hutang.
Mohon penjelasan dari Pak Is
Terimakasih
——
Tanggapan:
Mba (atau Mas? maaf) Naely,
Terlebih dahulu saya sampaikan bahwa pertanyaan tsb diluar kompetensi saya selaku konsultan hukum. Menurut saya, untuk pertanyaan tersebut sebaiknya ditanyakan kepada akuntan atau konsultan pajak. Meskipun demikian, sedikit yang saya ketahui adalah, masalah laporan konsolidasi bukan terdapat dalam UU PT tetapi terdapat dalam UU No. 28 thn 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Thn 1983 Tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”), yaitu dalam Pasal 4a dan 4b juncto PSAK No. 4. Ketentuan mengenai batasan 50% terdapat dalam PSAK No. 4.
PSAK No. 4 mengatur mengenai “perusahaan”, bukan yayasan. Akan tetapi dari UU KUP dapat diketahui adanya kewajiban konsolidasi bagi wajib pajak. Yang dimaksud wajib pajak tentunya termasuk yayasan. Hanya saja, mohon maaf, saya belum mengetahui apakah ada batasan persentase tertentu bagi yayasan yang harus konsolidasi. Dalam PSAK No. 4 ada batasan 50% bagi perusahaan.
Untuk jelasnya, silakan menanyakan kepada akuntan atau konsultan pajak.
Terima kasih
Siang Pak Is
Menindaklanjuti pertanyaan Mas Budi. Saya tertarik atas pertanyaan tsb,dlm hal ini masalah sewa menyewa.
Misal : Sebuah yayasan membeli sebuah ruko (atas nama yayasan). Guna menambah pendapatan yayasan, maka ruko tersebut disewakan ke pihak lain (misal: kantor bank). Pertanyaan sbb:
1. Sebenarnya yayasan tsb boleh tidak menyewakan ruko tsb?
2. Apabila tidak boleh, apakah yayasan harus mendirikan badan usaha untuk melakukan sewa menyewa tsb tetapi ruko tsb tetap atas nama yayasan. Bagaimana pak?
Mohon penjelasannya. Terima kasih
————–
Tanggapan:
Mba Sisca,
Sebagaimana jawaban saya atas pertanyaan Mas Budi, saya dapat jawab sbb:
1. Tidak ada larangan bagi yayasan untuk menyewakan ruko/asset. Hal ini mengacu pada bunyi Pasal 26 ayat 2 huruf e. Disebutkan bahwa kekayaan yayasan dapat diperoleh dari: (e) perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud perolehan lain antara lain sewa gedung. Jika yayasan boleh menerima penghasilan dari sewa gedung berarti yayasan boleh menyewakan gedung. Dengan catatan, penyewaan gedung bukan sebagai kegiatan utama berdasarkan maksud dan tujuan yayasan.
2. Sudah terjawab
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Selamat siang, Pak Is
Mohon penjelasan mengenai Pasal 7 & Pasal 8 UU Yayasan, dimana kedua Pasal tersebut menyangkut pendirian badan usaha guna menunjang kegiatan dari yayasan. Yang kami tanyakan :
1. Apakah yayasan diperbolehkan melakukan pengadaan & pembelian barang (mis : Ruko / mobil)?
2. Jika yayasan diperbolehkan melakukan pengadaan & pembelian ruko/mobil yang kmdian ruko/mobil tsb disewakan ke pihak lain. Untuk melakukan sewa menyewa tersebut adalah badan usaha yang dibentuknya. Bagaimana dengan aset yang disewakan (ruko/mobil)? Apakah termasuk kekayaan milik yayasan atau badan usahanya?
3. Mohon masukan atau alternatif lain dari Pak Is mengenai masalah tersebut di atas. Agar lebih jelas mengenai kegiatan usaha yayasan (dalam hal ini sewa menyewa).
Demikian kami sampaikan, atas perhatian & kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Salam
Budiriyanto.
=========
Mas Budi,
Yang dimaksud badan usaha yang dapat dirikan oleh Yayasan adalah badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. Berdasarkan undang-undang, maksud dan tujuan pendirian Yayasan dalah dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
1. Yayasan diperbolehkan melakukan pembelian barang untuk menunjang terlaksananya maksud dan tujuan Yayasan
2. Jika melihat pada maksud dan tujuan pendirian yayasan, maka badan usaha yang dibentuk harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan
Masalah kepemilikan kekayaan tergantung pada pihak mana yang tercatat sebagai pemilik kekayaan, apakah Yayasan atau badan usaha yang dibentuk tersebut. Jika ruko/mobil yang dibeli diatasnamakan Yayasan, maka ruko/mobil itu milik yayasan dan yayasan yang berhak menyewakan kepada pihak lain. Jika dicatat atas nama badan usaha yang dibentuk maka itu menjadi milik badan usaha.
3. Sewa menyewa bukan bagian dari kegiatan yayasan. Meskipun dimungkinkan yayasan menerima penghasilan dari sewa menyewa tetapi hal itu bukan kegiatan utama. Misalnya jika sebuah rumah sakit memiliki lahan yang masih kosong dan ingin disewakan, maka penyewaan tersebut semata-mata dalam rangka menunjang fasilitas rumah sakit, misalnya lahan disewakan kepada rumah makan agar pengunjung yang datang ke rumah sakit dapat mudah memperoleh makanan saat berkungjung, atau disewakan ke wartel.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Kepada Yth
Pak Is
Di dalam Pasal 53 UU Yayasan ttg Pemeriksaan Yayasan. Yang ingin kami tanyakan :
1. Sejauh mana yayasan dapat dilakukan pemeriksaan?
2. Siapa yang berhak melakukan pemeriksaan tsb?
3. Dapatkah dilakukan pemeriksaan (misal: audit) setiap 1 (satu) tahun sekali. Hal ini menyangkut mengenai segala kegiatan yang dilakukan oleh yayasan.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian & kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Salam
Aryo
=======
Tanggapan
Mas Aryo,
Tanggapan atas pertanyaan 1.
UU tentang Yayasan telah secara jelas menyebutkan alas an-alasan dilakukannya pemeriksaan yaitu apabila terdapat dugaab bahwa organ yayasan (Pembina, Pengawas, Pengurus):
a. melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b. lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c. melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d. melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
Tanggapan atas pertanyaan 2.
Yang berhak melakukan pemeriksaan adalah ahli sebanyak-banyak 3 orang. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga. Ahli diangkat berdasarkan penetapan pengadilan. Khusus untuk perbuatan yang merugikan Negara, maka penetapan pengadilan berdasarkan permintaan Kejaksaan.
Tanggapan atas pertanyaan 3.
Mengenai pemeriksaan rutin tahunan dilakuan berdasarkan ketentuan Pasal 49
Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku Yayasan ditutup, Pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat sekurangkurangnya:
a. laporan keadaan dan kegiatan Yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil yang
telah dicapai;
b. laporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan
aktivitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan.
Dalam hal Yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi Yayasan, transaksi tersebut wajib dicantumkan dalam laporan tahunan
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Yth. Pak Is
Mohon penjelasannya Pasal 7 ayat 2 UU No.16/2001,dimana Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Yang menjadi pertanyaan :
1. Dalam hal penyertaan ini, apakah terdapat pembatasan-pembatasan mengenai penyertaan ini dalam arti bentuk dari penyertaan itu sendiri. Mohon penjelasannya.
2. Apakah diperbolehkan, sebuah Yayasan melakukan penyertaan dalam Koperasi yang bergerak di Simpan Pinjam? Mohon penjelasannya.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian & kerja samanya kami ucapkan terima kasih
====
Tanggapan:
Mas Aryo,
Memang, dalam UU Yayasan tidak dijelaskan mengenai bentuk penyertaan. Dalam praktek usaha, bentuk penyertaan dapat berupa penyertaan saham dan penyertaan modal (investasi). Menurut saya, penyertaan yang dimaksudkan dalam pasal 7 ayat 2 dapat berupa penyertaan saham dan juga penyertaan modal (investasi dalam suatu proyek bisnis) dengan ketentuan adanya pembatasan hingga 25% dari seluruh kekayaan yayasan. Contoh penyertaan modal misalnya Yayasan menyertakan modal pada sebuah restoran, dimana modal tersebut merupakan modal kerja dan bukan berupa saham. Dalam penyertaan modal tersebut ditentukan berapa persen bagian yayasan atas penghasilan proyek tersebut, termasuk ditentukan kemungkinan adanya pembagian resiko kerugian. Berbeda dengan penyertaan saham dimana dalam hal ini yayasan menjadi pemegang saham, dalam penyertaan modal yayasan hanya bertindak selaku pemilik modal. Untuk penyertaan saham, yayasan hanya dapat bertindak sebagai pemegang saham untuk perusahaan yang sudah berdiri dan berbadan hukum melalui penyertaan saham pada perusahaan tersebut. Jadi dalam hal ini yayasan tidak bertindak sebagai pendiri badan hukum tersebut.
Mengacu pada UU Koperasi, koperasi dapat menerima penyertaan dari pihak lain sebagai bagian dari modal koperasi. Penyertaan yang dimaksud adalah penyertaan modal, karena koperasi tidak mengenal bentuk saham.
Demikian, terima kasih.
Ismail Marzuki
Yth Pak Is
Pertanyaan saya :
Seputar Pasal 5 ayat 1 mengenai kekayaan yayasan.
Dimana jika salah satu pengurus yayasan ingin membeli salah satu kekayaan Yayasan (misal : Mobil)sebelum masa baktinya berakhir,yang menjadi pertanyaan :
1. Apakah pembelian atas mobil tersebut diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan UU Yayasan?
2. Apakah pembelian atas mobil tersebut harus mendapat persetujuan dari Pengawas dan Pembina (jika diperbolehkan)?
Terima kasih atas perhatian & kerjasamanya.
======
Tanggapan:
Pak Aryo,
1. Ketentuan pasal 5 ayat 1 UU Yayasan lengkapnya sbb:
“Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.”
Dalam ketentuan tersebut ada dua unsur yang dilarang yaitu kekayaan yayasan dilarang:
– dialihkan; atau
– dibagikan
kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Larangan tersebut meliputi gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang.
Dalam UU tidak dijelaskan lebih lanjut maksud kalimat “bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang”.
Menurut kami, pengertian kalimat “bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang” dalam hal pengalihan adalah jual-beli, hibah, tukar menukar dan bentuk-bentuk pengalihan lainnya.
Dengan demikian kekayaan yayasan dilarang dijual kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
2. Apabila yayasan ingin menjual kekayaan (kepada pihak lain), Pengurus wajib meminta persetujuan Pembina terlebih dahulu.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Yth.Pak Is,
Pertanyaan saya:
1. Siapakah yang dapat membubarkan yayasan yang belum mendapatkan pengesahan dari Menteri?
2. Apakah Dewan Pembina dapat membubarkan atau membekukan kegiatan yayasan?
3. Bagaimana mekanisme pembubaran yayasan?
Terima kasih atas perhatiannya
====
Pak Hans,
1. Suatu yayasan memperoleh status badan hukum setelah memperoleh pengesahan Menteri. Untuk yayasan yang telah berstatus badan hukum, maka pembubarannya harus dilakukan oleh likuidator. Akan tetapi apabila yayasan belum disahkan menteri berarti yayasan tersebut “Belum Lahir”. Oleh karena itu bagi yayasan yang belum lahir tersebut prosesnya adalah bukan pembubaran tetapi pembatalan pendirian yayasan. Pembatalan dilakukan oleh para pendiri yayasan.
2. Pembina memiliki kewenangan untuk membubarkan yayasan. Akan tetapi kewenangan tersebut dibatasi oleh UU. Alasan untuk pembubaran yayasan adalah:
a. jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
b. tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
c. putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan :
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3) harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut
3. Mekanisme pembubaran yayasan. Pembina harus menunjuk likuidator untuk membereskan yayasan. jika tidak ditunjuk likuidator maka Pengurus bertindak sebagai likuidator. Apabila pembubaran terjadi karena putusan pengadilan, maka pengadilan yang akan menunjuk likuidator
Demikian,
Ismail Marzuki
Yth. Pak Is
Saya masih belum mengerti tentang UU Yayasan yang terbaru terutama mengenai pengembalian fungsi yayasan sebagai untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan Kemanusiaan.
Pertanyaan saya;
1. Pasal mana yang mengatur tentang pengembalian fungsi yayasan tersebut!
2. Apakah boleh yayasan menurut Undang-undang Yayasan terbaru ini mencari keuntungan baik secara langsung maupun tak langsung.
Terima kasih atas jawabannya
=====
Tanggapan:
Mas Ida Bgs Surya… (mohon maaf jika salah penyebutan, asumsi saya anda laki-laki)
UU tentang Yayasan yang pertama kali ada di Indonesia adalah UU No. 16 tahun 2001. Kemudian beberapa pasal dari UU No. 16 Tahun 2001 tersebut diubah melalui UU No 28 tahun 2004. Mungkin yang anda maksudkan dengan UU yayasan terbaru adalah UU no 16 tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No. 28 tahun 2004.
1. Pengembalian fungsi yayasan:
Dalam penjelasan UU No. 16 tahun 2001 disebutkan tentang adanya penyimpangan dari tujuan dirikannya yayasan. Ada sebagian orang yang memanfaatkan yayasan hanya untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu UU No. 16 tahun 2001 dibuat untuk mengembalikan fungsi yayasan.
Alinea ke 2 Penjelasan UU No. 16 tahun 2001:
“Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang ini menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-undang ini.”
2. Yayasan hanya dapat mencari keuntungan melalui kegiatan usaha yang dilakukan oleh badan usaha yang dibentuknya. Dalam UU yayasan tidak digunakan istilah keuntungan, tetapi “hasil kegiatan usaha”. Larangan membagikan hasil kegiatan usaha berarti pada yayasan terbuka kemungkinan adanya hasil kegiatan usaha (keuntungan).
Demikian, tanggapan saya
Ismail Marzuki
Yth Pak Is..
Hingga saat ini masih ada 1 pertanyaan yang terus berputar di kepala saya. Yaitu tentang Pembina dan Pengawas Yayasan.
Bagaimana mungkin Pembina dan Pengawas Yayasan tidak boleh menerima apapun dari yayasan?
Sebagai manusia biasa kan mereka juga memerlukan uang untuk dapat hidup?
Bila saya lihat disini, dari satu sisi pemerintah ingin masyarakat ikut membantu negara dalam menyelengarakan kegiatan kegiatan yang dapat membantu masyarakat lainnya, namun di sisi lain, pemerintah sama sekali tidak memperhatikan orang orang yang memiliki perhatian lebih terhadap sesamanya.
Bagaimana mungkin seseorang yang tidak diperkenankan mendapatkan penghasilan bisa membantu orang lain?
Ini sama saja nanti ujung ujungnya akan terjadi penyelewengan dengan menggunakan alasan dana baktilah, tunjangan A atau tunjangan B, atau biaya A dan biaya B…
Bukankah dalam hal ini pemerintah malah akan mendorong terjadinya korupsi?
Terima kasih.
Andreas Leonard
=======
Tanggapan:
Mas Andreas,
Sepintas memang tidak masuk akal jika Pembina dan pengawas dilarang memperoleh penghasilan dari yayasan. Akan tetapi jika kita kembali menengok tujuan dari didirikannya yayasan serta fungsi dari Pembina dan pengawas maka hal yang tadi kita anggap tidak masuk akal, justru menjadi masuk akal.
Pendirian yayasan mempunyai tujuan yang mulia yaitu dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dari ketiga bidang tersebut saja kita dapat memahami bahwa unsur sukarela atau tanpa pamrih sangat dominan dalam mengelola yayasan. Seseorang yang berniat aktif membantu sesama dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan idealnya hanya mengharapkan pahala dari Allah atau semata-mata atas nama kemanusiaan itu sendiri tanpa ada motif memperoleh penghasilan. Lalu bagaimana dengan Pembina dan Pengawas?
Untuk Pembina, berdasarkan UU yayasan, yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Jadi pembina itu dapat berasal dari Pendiri yayasan atau orang yang dinilai memiliki dedikasi yang tinggi untuk mencapai tujuan yayasan. Seorang pendiri yayasan jelas tidak memerlukan “gaji” dari yayasan yang didirikannya karena yayasan bukan perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan. Idealnya, seseorang menjadi pendiri yayasan karena ia memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Jika seseorang mendirikan yayasan untuk tujuan mencari penghasilan pribadi, maka orang tersebut salah dalam memilih bentuk badan hukum. Jika ia menghendaki keuntungan pribadi, maka ia dapat mendirikan PT, CV, Firma atau bergabung dengan koperasi. Oleh karena itu sangat masuk akal jika UU melarang adanya penghasilan bagi Pembina. Sedangkan untuk pengawas, pekerjaan pengawas adalah bukan pekerjaan harian seperti pengurus selain itu pengawas juga harus netral sehingga wajar jika tidak memperoleh penghasilan.
Kalau masalah korupsi, itu kaitannya dengan moral dan ahlak bukan semata-mata kebutuhan ekonomi. Para oknum pejabat yang ditangkap karena korupsi bukanlah orang yang miskin yang kehidupannya pas-pasan. Mereka adalah orang yang sudah dapat fasilitas lengkap dari Negara, tapi karena rakus akhirya mereka korupsi.
Demikian tanggapan singkat, semoga berkenan
Ismail Marzuki
Setelah saya membaca UU tentang yayasan, ada pertanyaan tentang jumlah minimal Pembina. Apakah boleh cuma 1 orang ? Terima Kasih
=====================
Tanggapan:
Jika mengacu pada ketentuan UU Yayasan memang dimungkinkan Pembina hanya 1 orang.
Dalam Pasal 9 ayat 1 dimungkinkan yayasan dirikan hanya oleh satu orang, sedangkan dalam pasal 28 ayat 3 yang dapat diangkat sebagai Pembina yayasan adalah “pendiri” atau mereka yang menurut Rapat Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Dengan demikian apabila pendiri yayasan hanya satu orang, maka terbuka kemungkinan pembina pun juga satu orang.
Pasal 9 ayat 1:
(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta
kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
Pasal 28 ayat 3:
(3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang
berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi
untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan
Demikian tanggapan saya.
Ismail Marzuki
terimakasih atas jawabannya.berarti untuk penghasilan yang sifatnya rutin diterima setiap bulan dengan besaran yang sama oleh organ yayasan, kecuali pengurus (pasal 5 ayat 2), tidak diperbolehkan?ada tambahan pertanyaan lagi,apakah ada peraturan atau undang-undang yang melarang pemerintah memiliki yayasan?
mohon penjelasannya lagi pak.terima kasih.
====
Tanggapan
Betul Mba,
Organ Yayasan tidak boleh menerima penghasilan rutin setiap bulan (gaji, upah dll) keculai bagi Pengurus yang bukan pendiri yayasan.
Mengenai larangan dalam hal pemerintah mendirikan yayasan, harus dilihat bahwa untuk mendirikan yayasan harus mengacu pada UU Yayasan. Dalam UU Yayasan pendiri yayasan berupa orang perseorangan atau badan hukum. Pengertian badan hukum disini adalah badan hukum privat, bukan pemerintah, karena jika yang dimaksud dengan badan hukum adalah pemerintah maka maksud tersebut harus secara jelas dicantumkan sebagaimana yang dapat kita temukan pada UU ttg Perseroan Terbatas dan peraturan ttg perusahaan Persero (BUMN). Jadi dalam UU Yayasan, para pendirinya sudah dibatasi pada orang perseorangan dan badan hukum.
Demikian,
Ismail Marzuki
Ass.Wr.Wb
Mohon penjelasan mengenai maksud dari Pasal 5
Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan
berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak
langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai
kepentingan terhadap Yayasan.
Pasal 6
Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam
rangka menjalankan tugas Yayasan.
Antara pasal 5 dan pasal 6 sepertinya bertolak belakang. Honor, uang lelah, tunjangan transportasi, uang lembur apakah termasuk pada yang disebutkan dalam pasal 6?
Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wass. Wr.Wb
======
Tanggapan:
Mba Lia,
saya akan menanggapi pertanyaan Mba sbb:
1. Pasal 5: Ketentuan Pasal 5 tsb memang dibuat untuk mencegah adanya maksud dari para pendiri yayasan yg semata-mata ingin memanfaatkan yayasan untuk kepentingan ekonomi pribadinya. Yayasan merupakan badan yang pendiriannya dimaksudkan sebagai sarana sosial sehingga sejauh mungkin harus diproteksi dari kemungkinan adanya niat para pendiri yang hanya ingin mengambil keuntungan. Mengingat bahwa yayasan adalah lembaga sosial, maka para pendiri sejak mendirikan yayasan harus berkomitmen bahwa yayasan bukan sebagai lahan bisnis pribadi.
Larangan bagi Pembina, pengawas dan pengurus yayasan untuk memperoleh kekayaan yayasan dibatasi oleh undang-undang itu sendiri. Apabila Pengurus Yayasan (hanya pengurus) bukan sebagai pendiri dan pengurus tersebut bekerja full untuk yayasan, maka pengurus boleh menerima gaji (Lihat pasal 5. Ayat 2).
2. Pasal 6:
Menurut saya, pasal 6 ini tidak bertentangan dengan pasal 5. Dalam pasal 5 yang dilarang adalah masalah gaji, upah dan sejenisnya sedangkan dalam pasal 6 mengenai biaya-biaya yang muncul dalam pengelolaan yayasan diluar gaji atau upah. Terdapat perbedaan antara pasal 5 dan pasal 6.
Pasal 5 berbicara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pendapatan/penghasilan para pengurus yayasan dari yayasan. Hal ini dilarang.
Pasal 6 berbicara mengenai penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh organ yayasan untuk menjalankan yayasan. Misalnya organ yayasan akan menghadiri rapat disuatu tempat dengan menggunakan taxi. Biaya taxi yang dibayar oleh organ yayasan, harus diganti oleh yayasan sesuai dengan besarnya ongkos taxi. Biaya taxi tersebut bukan tunjangan transport, tapi penggantian biaya transport (reimbursement). Jika tunjangan transport, maka terlepas apakah pengurus tersebut naik taxi atau jalan kaki, biasanya tunjangan transport tetap ada dan besarnya tidak selalu sama dengan biaya taxi-nya. Tetapi jika reimbursement maka besarnay harus sama dengan biaya taxi. Setiap hal yang berupa gaji, upah, tunjangan atau perolehan manfaat, dilarang diberikan kepada organ yayasan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
trims ya saya bisa mengetahui uu dan pp nya tentang yayasan
maaf, tlong penjelasannya mengenai aspek hukum kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian
====
Tanggapan:
Mas Cecep,
Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui
badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan
kekayaannya. Misalnya, suatu Yayasan Pendidikan melakukan kegiatan usaha dengan cara mendirikan badan usaha berupa sekolah. Yayasan kesehatan melakukan kegiatan usaha dengan cara mendirikan Rumah sakit atau klinik. Yayasan yang maksud dan tujuannya bergerak dalam bidang pendidikan, maka badan usahanya harus yang berkaitan dengan bidang pendidikan. Dengan demikian apabila Yayasan pendidikan mendirikan rumah sakit, maka badan usaha tersebut (rumah sakit) tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan yaitu yayasan pendidikan.
Demikian tanggapan saya
Ismail Marzuki
Terimakasih atas penjelasan bapak.
Pertanyaa selanjutnya:
1. Jika wakaf telah diserahkan kepada nazhir perorangan, bisakah nazhir ini di ganti atau dialihkan kepada nazhir yang berbadan hukum (yayasan).
2. Benarkah dalam PP ttg yayasan yang baru disebutkan bahwa yayasan tidak boleh mengelola aset dalam bentuk wakaf?
Mohon penjelasan lagi pak, terimakasih.
=====
Terima kasih atas perhatian bapak,
mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat saya tanggapi sbb:
1. Tanggapan atas pertanyaan nomor 1:
Pada dasarnya Nazhir dapat diberhentikan atau diganti dengan Nazhir baru apabila terpenuhi syarat-syarat sbb:
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan
yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar ketentuan
larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang.undanganyang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.
2. Tanggapan atas pertanyaan nomor 2:
Dalam PP Yayasan tidak ada larangan bagi yayasan untuk mengelola wakaf. Ketentuan mengenai wakaf dalam PP Yayasan hanya berkaitan dengan penggunaan nama dan pelaporan keuangan tahunan. Bagi yayasan yang kekayaannya berasal dari wakaf, kata “WAKAF” dapat ditambahkan setelah kata “YAYASAN” (Pasal 3 ayat 3 PPY). Kata “wakaf” tidak dapat ditambahkan setelah kata “YAYASAN” jika Yayasan bukan sebagai Nazhir (Pasal 3 ayat 4 PPY). Dengan demikian apabila yayasan tsb bertindak sebagai Nazhir, maka kata “wakaf’ dapat digunakan di depan kata yayasan.
Selain itu bagi Yayasan yang mempunyai harta kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20 Milyar, ada kewajiban untuk mengumumkan laporan keuangan tahunan di surat kabar.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu’alam bish showab
Ismail Marzuki
Assalamu’alaykum wr.wb
Saya sedang mencari info ttg UU & PP yang mengatur ttg yayasan, Alhamdulillah saya dapatkan di sini. terimakasih. Selanjutnya, jika berkenan saya mohon masukan tentang permasalahan yang dihadapi jama’ah di lingkungan saya.
Begini pak.
Kira2 10 th yg lalu, di lingkungan saya dibangun sebuah musholla di atas tanah wakaf salah seorang warga. Seiring berkembang waktu, jama’ah musholla tsb merasa perlu untuk meningkatkan status mushola menjadi masjid. Seiring dgn itu pula maka jama’ah merasa perlu untuk memperluas bangunan fisik mushola (sekarang masjid) tsb. Maka, jama’ah sepakat untuk membeli sebidang tanah di sebelah mushola dgn pengumpulan uang donatur (jama’ah)yg selanjutnya sertifikat tanah yg dibeli tsb di atasnamakan salah seorang pengurus masjid.Untuk menghindari terjadi permasalahan dikemudian hari, jama’ah menginginkan agar tanah tsb segera diwakafkan saja.
Pertanyaannya, siapa yang akan menerima wakaf tanah tsb? Jama’ah menginginkan agar penerima wakaf adalah organisasi yang berbadan hukum.
Ada dua pendapat yang muncul di jama’ah ttg hal ini:
1. Yayasan Keagamaan
2. Badan Wakaf.
Pertanyaan saya, manakah diantara dua badan hukum ini yang cocok untuk permasalahan tsb? agar di kemudian hari tidak terdapat permasalahan yang tidak diinginkan, dan juga lebih memudahkan jama’ah dalam rangka pencarian dana untuk melanjutkan pembangunan masjid yang masih dalam proses, juga untuk pengelolaan dan pengembangan ekonomi umat di lingkungan kami.
Demikian, saya sangat berterimakasih apabila bapak bisa memberikan masukan2, karena perbedaan pendapat ini sudah menjadikan su’udlon dan menimbulkan fitnah di jama’ah kami.
Jazakalloh
Wassalamualaykum wr.wb
======
Tanggapan:
Wa’alaikumussalam
Bpk Nugroho,
Berkaitan dengan pertanyaan bapak mengenai lembaga/badan yang cocok sebagai penerima wakaf, akan saya sampaikan terlebih dahulu pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian wakaf yaitu:
(a). Wakif yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya
(b). Nazhir yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya
(c) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, disingkat PPAIW, yaitu pejabat
berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
Pengertian wakaf menurut UU No 41 th 2004 tentang Wakaf: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Apabila jamaah bermaksud untuk menggunakan mekanisme wakaf, maka terlebih dahulu harus ditentukan pihak yang akan bertindak selaku Nazhir. Nazhir dapat berupa (1) perseorangan ;(2) organisasi ; (3) badan hukum.
Saran saya adalah sebaiknya yang bertindak menjadi Nazhir adalah Badan Hukum, dalam hal ini Yayasan Masjid. Jika yayasan belum didirikan, maka terlebih dahulu harus mendirikan yayasan yang kegiatannya antara lain mengelola masjid.
Mengapa saya menyarankan Badan Hukum/Yayasan dan bukan perseorangan atau organisasi? Karena jika perseorangan akan sulit melakukan kontrol terhadap nazhir. Tugas Nazhir antara lain mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. Jika berbentuk organisasi yang bukan badan hukum, akan terbentur pada masalah struktur organisasi dan mekanisme anggaran dasar dari organisasi mengingat untuk organisasi yang bukan badan hukum tidak ada standard yang sama. Berbeda dengan Badan Hukum (misalnya Yayasan) yang sudah diatur oleh UU mengenai struktur organisasi yayasan dan pertanggungjawabannya.
Mengenai Badan Wakaf, jika mengacu UU maka badan wakaf bukanlah pihak yang bertindak selaku pengelola wakaf. Badan Wakaf adalah lembaga yang didirikan di tingkat nasional yang diangkat Presiden dengan tugas untuk membina dan mengawasi kegiatan perwakafan. Nazhir wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dengan demikian, maka yang menjadi penerima wakaf (Nazhir) adalah Badan Hukum berupa Yayasan. Agar Yayasan tersebut dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat, sebaiknya ada perwakilan tokoh masyarakat dan/atau aparat RW/RT yang duduk sebagai pembina yayasan.
Demikian, penjelasan singkat, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Bismillahir Rohmanir Rohiim
Terima kasih, kebetulan saya dan para ikhwan akan mendirikan yayasan kecil-kecilan untuk kegiatan sosial keagamaan. UU & PP yang saya download mudah-nudahan bermanfaat, dan Alloh SWT membalasnya. Amin
Wass
Ali Rahman
Yayasan Izzul Islam
==========
Amin. Semoga yayasan yang akan didirikan dapat berjalan dengan lancar
Ismail Marzuki