saya mau bertanya Pak..
2 tahun yang lalu saya membeli tanah perkebunan dari (sebut C). Jual-Beli kami menggunakan kuitansi yang ditandatangani oleh C diatas materai 6000. Setelah 1 minggu berlalu saya mendengar kabar bahwa tanah tersebut bermasalah, saya langsung menghubungi C untuk menanyakan perihal tanah tersebut. Oleh si C yang awalnya membeli tanah dari seorang kepala desa (sebut B) menjumpai saya dengan membawa B. Oleh saya, saya meminta uang saya dikembalikan, tetapi oleh C saat itu hanya bisa dikembalikan 1/2nya, jelas saya menolak karena rugi, oleh B saya diyakinkan bahwa B yang akan bertanggung jawab untuk menggantikan tanah tersebut.
2 tahun berlalu, tidak ada perkembangan yang berarti, B maupun C seakan lepas tangan, saya jadi bingung. Kepada siapa saya sebaiknya menuntut Pak?apa kepada B?atau C? bukti jual beli kuitansi yang ditandatangani oleh C dan terdapat 1 saksi, tetapi saksi tersebut buron sudah 1 tahun yg lalu karena ada masalah didesa. Apakah B bisa dijadikan saksi saat ada konflik antara saya dan C?apakah kuitansi tersebut termasuk alat bukti yang sah Pak?
sejarah tanah tersebut kemudian saya ketahui, bahwa B membeli dari A dgn luas sekian, tetapi oleh A dijual ke B dengan luas yg lebih besar dengan mencaplok tanah milik F, oleh B dijual ke C dan C menjual ke saya.. Bagaimana jalan keluarnya Pak..?
Perikatan yang terjadi dalam transaksi jual beli tanah tersebut adalah antara Bapak Syukri dan C. Oleh karena itu jika Bapak akan menggugat, pihak C lah yang dijadikan tergugat. Semua pihak yang mengetahui peristiwa tersebut, termasuk B dapat dijadikan saksi.
Assalamualaikum wr wb,
Terima kasih atas jawaban bapak. Ada yang belum saya mengerti mengenai jawaban yang bapak berikan diatas “b. A dan B menandatangani Akta Jual Beli setelah sertipikat kembali kepada A dari bank”.
1. Apakah setelah B melunasi, sertipikat kembali ditangan A atau masih di pihak notaris bank?. Jika langsung di tangan A apakah tidak beresiko mengingat B sudah melunasinya sementara sertifikat ada di tangan A?. Menurut bapak untuk lebih amannya bagaimana?
2. Untuk proses AJB setelah B melunasi di Bank, apakah AJB bisa dilakukan di notaris bank atau menggunakan notaris lain?.
Mohon maaf jika pertanyaannya terlalu mengada-ada pak, maklum saya masih buta untuk jual beli rumah.
Terima kasih banyak Pak Is.
1. Yang saya maksud dengan “sertipikat kembali kepada A dari bank” adalah bukan dalam arti fisik kertas sertipikatnya, tetapi kekuasaan untuk bertindak atas sertipikat itu yang kembali kepada A. Ketika tanah dijaminkan, sertipikat ada pada bank. Dalam kondisi demikian, A selaku pemilik tidak dapat bertindak atas sertipikat tersebut, karena dalam perjanjian selalu disebutkan bahwa selama hutang belum lunas A tidak boleh menjual atau menjaminkan tanah tersebut kepada pihak lain.
2. Secara umum, jika hutang lunas, maka sertipikat (fisik) akan dikembalikan ke A dari bank. Tetapi khusus untuk transaksi seperti yang ibu sampaikan, tandatangan AJB dilakukan dihadapan PPAT yang biasa di bank tersebut. Sebelum pelunasan, A dan B menyampaikan kepada bank bahwa pelunasan akan menggunakan dana B, dan meminta bank agar tandatangan AJB antara A dan B dilaksanakan di bank oleh PPAT bank pada hari yang sama dengan pelunasan hutang.
Terima kasih pak atas sarannya……semoga saran bapak bermanfaat dan mendapat pahala yg setimpal. Amin… Jujur saya sangat takut pak jika akan terjadi hal buruk pada SPORADIK itu.
Jika benar akan berdampak seperti demikian, mohon petunjuknya pak langkah apa yg harus sy lakukan skrg krn tepat 1 minggu setelah kejadian. Apakah salah jika saya melaporkannya ke kantor polisi, dgn keterangan hilang ??? Terima kasih.
jika sertipikat tanah tersebut memang benar-benar hilang, maka ibu harus melaporkan kehilangan tersebut ke kepolisian. Dengan berdasarkan laporan hilang tersebut, ibu mengurus sertipikat Pengganti ke kantor Pertanahan.
Assalamualaikum Pak Ismail,
Mohon bantuan bapak untuk wacana pertanyaan dibawah ini.
A. Pak bagaimana skema pembelian untuk rumah milik A yang belum lunas KPR di bank dan B ingin membelinya secara cash (bukan oper kredit). Apa yang harus B lakukan?.
B. Bagaimana juga skema pembelian rumah milik A yang masih Petok D dan sekarang masih dalam proses SHM di notaris dan B ingin membeli rumah tersebut secara cash akan tetapi A meminta DP terlebih dahulu padahal serifikat belum jadi. Apakah transaksi tersebut tidak beresiko mengingat SHM masih belum jadi. Apa yang harus B lakukan?
Terima Kasih
Wassalam,
1. Setiap rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR, dijadikan jaminan untuk menjamin pelunasan hutang pada bank. Dengan demikian, rumah yang akan dibeli B secara kontan saat ini sedang dijaminkan pada bank.
Agar B dapat membeli rumah tersebut dari A, maka selain adanya kesepakatan antara A dan B, kedua pihak yaitu A dan B harus meminta persetujuan bank terlebih dahulu. Setelah bank menyetujui penjualan rumah tersebut maka dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. B melunasi sisa hutang A pada bank. Pelunasan ini diperhitungan sebagai harga beli atas tanah.
b. A dan B menandatangani Akta Jual Beli setelah sertipikat kembali kepada A dari bank
2. Untuk transaksi ini dapat menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaris . Dalam PPJB dicantumkan adanya DP, dan juga dimuat bahwa AJB akan dibuat setelah sertipikat selesai didaftar ke atas nama A.
Dalam setiap transaksi tetap ada kemungkinan resiko. Tetapi dengan adanya PPJB dapat mengurangi resiko.
Sepanjang yang saya ketahui, istilah sporadik yang sering muncul dalam bidang hukum adalah istilah dalam pendaftaran tanah.
Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual
atau massal.
Jadi, jika yang dimaksud sporadik adalah sebagaimana disebut dalam peraturan tersebut diatas, maka sporadik tidak akan jatuh ke tangan orang lain.
Akan tetapi, saya berasumsi bahwa yang dimaksud dengan sporadik dalam pertanyaan ibu adalah sertipikat tanah. Semoga asumsi saya tidak keliru.
Apabila sertipikat tanah hilang maka, ibu dapat memita penggantian sertipikat tanah ke kantor pertanahan.
Pasal 57 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(1) Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertipikat baru sebagai pengganti sertipikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertipikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
(2) Permohonan sertipikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1), atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53, atau kuasanya.
(3) Dalam hal pemegang hak atau penerima hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah meninggal dunia,
permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
(4) Penggantian sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat pada buku tanah yang bersangkutan.
Dampak terburuk jika sertipikat tanah hilang adalah, apabila si penemu menggunakan identitas palsu sesuai nama yang ada di sertipikat, kemudian menjual atau menjaminkan tanah tersebut.
1. Pak, tahun 2005 saya membeli sebuah rumah kecil milik almarhumah budhe saya. Ceritanya rumah yang berukuran 7mx10m tersebut dulunya tahun 1982 dibeli dalam bentuk tanah Petok D lalu dibangun berdua oleh almarhumah budhe dan alhamdulillah ibu saya yang masih hidup sampe sekarang dengan bantuan almarhum kakek. Oleh almarhum kakek tanah yang berukuran 7mx10m itu dibuatkan 2 rumah kecil masing-masing berukuran 3,5m x 10m berdampingan. Sayangnya oleh almarhumah budhe rumah itu diatasnamakan beliau dengan almarhum suaminya. Kebetulan budhe meninggal duluan disusul beberapa tahun kemudian suaminya meninggal. Entah karena faktor apa, almarhum suami budhe membakar pinggiran kertas surat Petok D tersebut, yang untungnya semua isi surat masih bisa terbaca. Perlu diketahui almarhumah budhe dan almarhum suaminya meninggal tanpa memiliki anak. Sedang almarhumah budhe dan almarhum suaminya pernah mengadopsi anak (tanpa legalisasi hukum) dari almarhumah kakak ibu saya yang juga sebagai adik dari almarhumah budhe . Ceritanya, almarhumah budhe, sebut saja A adalah anak no 1 dalam keluarga (menikah dengan suaminya tanpa memiliki anak. Almarhum suami Budhe A adalah anak tunggal yang kedua orang tuanya sudah meninggal juga), no 2 Pakdhe B yang masih hidup, no 3 almarhumah Budhe C dengan 3 anak (1 nya diadopsi tanpa legalisasi hukum oleh almarhumah budhe A dan almarhum suaminya tersebut, no 4 Ibu saya D yang masih hidup, no 5 Om saya E yang masih hidup. Setelah budhe A dan suaminya meninggal, diputuskan bahwa rumah dijual ke saya (anak ibu D), sayangnya jual beli tersebut dibawah tangan hanya mengetahui seluruh keluarga pihak ibu saya yang saya sebutkan diatas dengan menandatangani surat perjanjian jual beli saja. Sedangkan dari pihak keluarga ibu tidak melibatkan keluarga almarhum suami budhe A seperti sepupunya mengingat almarhum suami budhe A adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya juga sudah meninggal. Saat ini saya berusaha mengurus proses balik nama tersebut, namun di tengah jalan menemui kesulitan karena surat nikah almarhumah budhe A dan almarhum suami tidak diketemukan, surat kematian suami budhe A tidak diketemukan, surat kematian almarhumah budhe C juga tidak diketemukan sementara posisi suami almarhum budhe C sekarang dipenjara karena suatu kasus. Oleh pihak kelurahan saya diharuskan untuk mengurus surat waris terlebih dahulu baru kemudian bisa dibalik nama atas saya dan ibu saya.
Pertanyaan saya adalah:
A. Bagaimanakah proses pengurusan surat waris, saya sudah pernah menanyakan ke pengadilan agama tapi saya diharuskan membuat sendiri / dibantu orang lain dan kemudian diajukan ke sana. Namun saya pernah membaca suatu blog cukup dilakukan di kelurahan dan kecamatan. Mana yang benar pak Is?.
B. Apa yang harus saya lakukan mengingat semua surat kematian almarhumah Budhe C dan almarhum suami budhe A tidak diketemukan, surat nikah almarhumah budhe A dan suami tidak diketemukan dan almarhumah budhe C (suami masih hidup dan dipenjara) juga tidak diketemukan.
C. Bagaimana caranya supaya saya bisa membalik namakan surat rumah tersebut atas nama saya dan ibu saya. Secara fisik saya adalah yang membayar PBB dan listrik yang masih atas nama almarhum suami budhe dan saya juga yang merenovasi rumah tersebut.
D. Apakah saya perlu membaliknamakan PBB dan listrik atas nama saya. Perlu diketahui rumah tersebut terpasang listrik atas nama almarhum suami budhe A dan saya untuk rumah sebelahnya dan PBB masih nama almarhum suami budhe A.
Terima kasih atas bantuannya. Semoga kebaikan bapak membantu sesama akan di lipatgandakan oleh Allah SWT.
Mengacu pada Peraturan Menteri Agraria No 3 Tahun 1997 Pasal 111, untuk Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah, melampirkan:
i. bagi warganegara Indonesia penduduk asli :surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia
ii. bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris,
iii. bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
Tanggapan B, C, dan D:
Untuk melakukan pendafataran tanah, dibutuhkan bukti-bukti untuk memperkuat kepemilikan tanah seseorang. Jika bukti-bukti tidak lengkap atau tidak ada, maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengacu pada Pasal 76 PMA No. 3 Tahun 1997, yaitu:
Pasal 76
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) huruf c harus disertai dengan dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :
a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau
b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau
f. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, atau
g. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Peme-rintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
h. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
i. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau
j. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
k. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau
l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
(2) Apabila bukti kepemilikan sebidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap atau tidak ada, pembuktian kepemilikan atas bidang tanah itu dapat dilakukan dengan bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang manyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut.
(3) Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak ada maka permohonan tersebut harus disertai dengan:
a. surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1) bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih;
2) bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;
3) bahwa penguasaan itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;
4) bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa;
5) bahwa apabila pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
b. keterangan dari Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersang-kutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas, sesuai bentuk sebagaimana tercantum dalam lampiran 14.
Saya Saipul dari Gowa Sul-sel. Saya senang sekali bisa menemukan rubrik tanya jawab ttg hukum ini.
Saya ada beberapa pertanyaan menyangkut pertanahan.
1). Bagaimana cara melakukan gugatan terhadap sertifikat tanah yang tidak sesuai dengan data pisik. Ada tetangga yang membuat sertifikat tanah yang luasnya sudah menyebrang jauh ke tanah milik saya dan baru ketahuan. Pada saat pengukuran, tidak melibatkan saya sebagai pemilik. Mereka melakukan secara diam diam. Saya melihat PP 24 thn 1997 yg salah pasal menyatak “…sertifikat tidak bisa digugat lagi setelah lima tahun…” Sertifikatnya dari 2006 tapi saya baru tahu 6 bulan lalu kalo ukuran tanahnya sudah jauh berbeda dari yang seharusnya..
2) jika pejabat dusun/desa melakukan perubahan data buku tanah (buku kepemilikan tanah ditingkat dusun…) secara sepihak, kemana harus mengadu?
3) saya punya kakek sudah lama meninggal dan mempunyai sebidang tanah. Setelah meninggal, tetangganya yg masih hubungan keluarga mengklaim bahwa tanah kakek saya sudah dijual kepada dia. Anehnya, tidak ada satu tanda bukti yg saya bisa liat… Saat ini, tanah tersebut sudah dibuatkan sertifikatnya atas nama dia. Bagaimana cara menggugatnya.
1. Sertipikat Tanah merupakan produk atau Keputusan Tata Usaha Negara. Apabila seseorang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata usaha Negara maka dapat mengajukan Gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara ke pengadilan Tatas Usaha Negara.
Pasal 55 UU Peradilan Tata Usaha Negara
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
SEMA No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 menyebutkan:
Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut
Jadi, dalam masalah tersebut, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara
2. Buku tanah ada di Kantor Pertanahan, kepala dusun tidak berwenang mengubah buku tanah. Jika ada perubahan data, dapat dikategorikan tindak pidana pemalsuan.
3. Jawabannya, sama dengan tanggapan nomor 1 di atas.
Kepada Bapak Ismail Marjuki yang terhormat,
Saat ini ibu saya sedang menghadapi masalah dan perkaranya sedang bergulir di PTUN, Tanah ibu saya dari warisan kakek yang sudah disertipikat tahun 1995 didoku sebagian oleh tetangga untuk jalan dengan terbitnya sertipikat baru milik tetangga tanpa ibu saya ketahui, begini ceritanya pak, tanah warisan kakek saya luasnya 1800 m, kakek punya anak 4, 1 laki-laki 3 perempuan, kakak laki-laki ibu dapat bagian 900 m jalan kebarat, sedang yang perempuan dapat masing-masing 300 m jalannya ketimur, sedang ibu dapat bagian paling barat, kakak perempuan no 1 dapat tengah sedang kakak perempuan no 2 dapat paling timur hadap jalan utama, untuk memberi jalan keluar buat ibu saya dan kakaknya dipotonglah bagian waris kakak perempuan no 1 36 m dan kakak perempuang no 2 26 m, waktu pembikinan model D (Prona tahun 1982) terjadi kesalahan karena jalannya memotong pekarangan ibu saya kesalahan tersebut baru disadari ibu saya tahun 1994, atas saran perangkat desa (kaur pemerintahan) untuk dibuat sertipikat saja dan benar dengan bukti pendukung yang jujur jadi shm ibu saya tahun 1995 dan waktu pengukuran kepala dusunnya juga menyaksikan. bulan Agustus tukang catat meter yang tinggalnya sekampung dengan ibu saya memberi tahu kalau pagar pembatas dengan pekarangan sebelah dibongkar karena sudah dibuat rumah kaget tentu saja, ternyata pemilik pekarangan sebelah dengan bantuan kepala dusun membuat pernyataan bahwa jalan yang salah model D dihidupkan lagi, celakanya pihak BPN kurang cermat sehingga mengeluarkan SHM untuk pekarangan tetangga tsb yang sudah dijual kepada orang lain dengan menyerobot pekarangan ibu saya, pemilik asli pekarangan tsb tidak bertanggung jawab karena tidak memberi jalan kepada pembeli. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah pihak bpn yang menerbitkan shm tersebut bisa dilaporkan karena sewaktu dipersidangan ptun masih mengintimidasi ibu saya mau dilaporkan kepolisi dengan tuduhan pemalsuan bukti pendukung serfipikat, seandainya pun dilaporkan ibu saya tidak takut karena waktu pembuatan sertipikat tidak menyuap siapapun, karena dianggap ibu saya memalsukan tanda tangan pekarangan yang sebelah barat yaitu suami saksi intervensi yang sdh almarhum karena waktu jadi saksi pihak intervensi istri yang punya pekarangan sebelah barat pekarangan ibu saya bohong besar tidak takut Tuhan karena udah disumpah dia tetap berbohong karena memang surat ukur untuk ibu saya tidak boleh dipinjam oleh bpn (Katanya suaminya) tidak menandatangi surat pernyataan yang menyatakan bahwa pekarangan tsb milik ibu saya saya hanya pinjam untuk jalan saya sendiri, perlu bapak ketahui bahwa pekarangan pakde saya (kakak ibu) dijual kepada 2 orang, yang pekarangan yang bersebelahan dengan pekarangan ibu saya dulu ada jalan keutara dijual duluan sekitar tahun 1980 (luas 350 m) akses jalan keutara sedang yang satunya dijual 1981 luas 550 m, belakang ibu saya baru menyadari kalau akses jalan keutara ditutup makanya datang pemilik pekarangan sebelah barat datang kerumah ibu saya mau pinjam pekarangan untuk menaruh material ternyata pekarangan ibu malah dibuat jalan oleh pemilik pekarangan disebelah barat ibu saya jadi berkepentingan juga selama ini dia cuma pinjam pekarangan untuk jalan tapi oleh istrinya itu diingkari ibu masih punya copy surat pernyataan suami yang punya pekarangan sebelah barat sedang aslinya ditahan bpn mau meminjam aslinya tidak boleh surat pernyataan tsb juga resmi karena dibuat diatas kertas segel.dan apakah pak dukuh (kepala dusun) melanggar hukum karena dia menunjuk batas di 2 shm dan kalau mau melaporkan kemana karena kalau ke pak lurah percuma karena waktu pembuatan shm tahun 2001 (karena tetangga menjual lagi sebagian tanahnya lagi persis dikanan pekarangan ibu saya) yang jadi perantaranya karena pak lurah yang sekarang tahun 2001 jadi kaur pemerintahan sekian terima kasih atas perhatiyan
Dalam persidangan perkara Tata Usaha Negara, adanya dugaan pemalsuan seperti yang dituduhkan oleh BPN, harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan putusan pengadilan negeri. Jadi, pernyataan palsu tersebut tidak dapat dinyatakan sepihak, tetapi harus berdasarkan pemeriksaan penyidik Polri dan diputus oleh hakim. Pasal 85 ayat (4) UU Peradilan Tata Usaha Negara:
Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
Pak Ismail Marzuki yang saya hormati. Saya ingin bertanya.
Almarhum bapak Saya, – anggap saja A – meninggal tahun 1986 dengan mewariskan tanah seluas 700m2 dimana 200m2 dibangun rumah tinggal orangtua dan sisanya kebun. Ketika itu kami masih kecil-kecil sehingga anak tertua – anggap saja Z – berbuat semaunya. Sisa tanah yang 500m2 dia bangun dua rumah yang satu untuk rumah tinggal dia beserta anak istrinya dan yang satunya lagi untuk kontrakan. Hasil kontrakan pun hanya dimakan untuk dia dan anak-anaknya.
November 2013, Z meninggal dunia. Dan kami para ahli waris menemui kendala untuk menjual tanah bapak kami yang seluas 700m2 tersebut kaena anak (sudah dewasa) dan istrinya menganggap Z sudah beli dari almarhum bapak Saya. Mereka tidak ingin menandatangani fatwa waris.
Saat ini kondisi tanah bapak masih berakta jual beli atas nama almarhum bapak kami tahun 1960-an dan belum dibuatkan sertifikat.
Yang ingin Saya tanyakan :
1. Apa yang sebaiknya kami lakukan agar bisa menjual tanah bapak kami karena ahli waris Z (anak istri) tidak mau menandatangani fatwa waris.
2. Bisakah kami melakukan pembongkaran rumah Z yang dibangun di atas tanah bapak kami dan kebetulan Z juga ahli waris.
1. Mengacu pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang waris.
Jadi, apabila ada pihak yang tidak bersedia membagi harta warisan, ahli waris dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama untuk menentukan siapa saja yang berhak sebagai ahli waris, atau dikenal juga dengan fatwa waris.
2. Untuk membongkar rumah tersebut, sebaiknya diputuskan terlebih dahulu siapa yang berhak atas tanah tersebut. Jika Bapak Anshori membongkar secara sepihak, maka perbuatan tersebut dapat memancing keruwetan masalah di kemudian hari. Saran saya, sebaiknya ajukan gugatan terlebih dahulu ke pengadilan agama.
Ass Bapak Ismail,
Mohon bantuannya untuk menjawab pertanyaan saya sbb :
1.Kami telah melekukan pelaporan di polres kami tetantang pengrusakan di kebun kami ,pihak polres menggunakan pasal 406 ,pihak polres telah mamanggil terduga tersangka 1 kali dalam proses penyidikan.
Kami ingin bertanya dari proses penyidikan tersebut sampai kepenyelidikan berapa lama pak karena sudah 1 bulan dari pemanggilan tsb belum ada tindak lanjut dari kepolisian sedangkan keterangan saksi dan pemeriksaan lapangan sudah lengkap?????
2. Pada tanah yang telah diusahan oleh pihak kami, namu dipasang pelang nama hak milik oleh orang lain dan dibangun pondok oleh pihak kedua,padahal kami memilik surat SPH sampai camat dan telah lama berusaha pada tanah tersebut.Orang yang melakukan hala tersebut dapatkah dilaporkan sebagai tindak penyerobotan?
3.Orang yang dititipi surat tanah sekitar 5 tahun yang lalu namun pada saat ditanya tidak mau memberikan, malahan dia menyatakan tanah tersebut hak miliknya dengan membuat surat tanah baru ,hal tersebut termasuk melanggar pasal berapa dan alat bukti apa yang dibutuhkan pak?
4.Bagaimana cara membedaKan tanda tangan asli atau palsu pak,sedangkan orang yang bertanda tangan sudah meninggal?
5.Bagaiman membuktikan pejabat yang membuat surat mundur atau menbuat surat pada saat sudah tidak menjabat tetapi memendurkan tanggal tanda tangan disurat ersebut pak?
Atas jawabanya diucapkan terima kasih.
1. Mengenai batas waktu proses penyelidikan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur hal tersebut. Demikian juga dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012, Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, tidak ada pengaturan mengenai batas proses penyelidikan dan penyidikan.
2. Seseorang yang menduduki suatu bidang tanah harus memiliki alas hak atau dasar kepemilikan atas tanah tersebut. Bukti terkuat atas pemilikan tanah adalah sertipikat tanah. Jika ada seseorang yang menduduki suatu tanah sedangkan tanah tersebut telah dikuasai secara sah oleh pihak lain, maka pihak yang menduduki tersebut dianggap telah menyerobot tanah orang lain. Pasal yang dapat digunakan antara lain Pasal 167 KUHP, 263 KUHP (Pemalsuan surat)
3. Jika pengakuannya terhadap tanah tersebut dibuat berdasarkan dokumen palsu, maka dapat kenakan pasal 263 KUHP
4. Menentukan asli atau tidaknya tandatangan dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium dengan disbanding pada tanda tangan lainnya.
5. Mengetahui apakah surat tersebut ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal surat tentu tidak mudah. Dibutuhkan bukti-bukti bahwa surat tersebut tidak ditandatangani pada tanggal tersebut. Bukti yang dapat digunakan antara lain: Berdasarkan bunyi surat itu sendiri, apakah ada pertentangan antara tanggal surat dengan isi surat; bukti bahwa si penandatangan saat itu sedang berada di luar kota misalnya; bukti berdasarkan nomor buku surat.
Siang Pak Ismail,sangat berisi web bapak ini,saya jadi tau banyak:).Ada berapa hal yang mau saya tanyakan Pak.6bulan lalu saya melakukan pembelian rumah dengan developer ternama dan dilakukan akad kredit KPR dengan bank,penandatangan PPJB dan pengikatan kredit.AJB belum dilakukan karena developer beralasan rumah belum dibangun dan sedang pemecahan sertifikat.AJB akan dilakukan setelah rumah selesai.Apakah hal itu lumrah karena pembangunan cluster sebelumnya juga begitu,rumah selesai baru AJB?Saya cuma memegang fotokopi surat pengikatan kredit,Surat pemesanan rumah dan asuransi kebakaran itupun saya minta ke bank,dari notaris diam2 aja.Copy Surat2 apakah saja sebenarnya yang harus saya pegang?Apakah surat2 ini mempunyai kekuatan hukum bagi saya apabila terjadi sesuatu?Terima kasih sebelumnya
Seseorang yang akan membeli rumah dari developer dengan fasilitas KPR, maka sekurang-kurangnya akan membuat perjanjian sebagai berikut:
a. Perjanjian jual beli rumah: perjanjian ini dibuat antara Pembeli dan developer
b. Perjanjian kredit: perjanjian ini dibuat antara debitur (pembeli rumah) dan bank
c. Perjanjian pemberian jaminan, berupa Hak Tanggungan; perjanjian ini dibuat antara pemilik tanah (debitur) dan bank.
Idealnya, ketika pembeli membeli rumah dari developer, saat itu juga dibuat dan ditandatangani Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kondisi ideal ini dapat terjadi dalam hal tanah (rumah) tersebut telah memiliki sertipikat tanah tersendiri yang terpisah dari tanah-tanah lainnya. Misalnya: A membeli rumah dari developer dengan luas tanah 200 M2, dan atas tana luas 200 m2 tersebut telah ada sertipikatnya, sehingga dapat langsung dibuat Akta Jual Beli.
Dalam prakteknya, tanah-tanah yang dijual oleh developer pada umumnya masih berada dalam satu sertipikat induk. Sertipikat induk inipun biasanya sudah dijaminkan oleh developer ke bank untuk membiayai kredit konstruksi (untuk membangun perumahan). Karena tanah tersebut masih sertipikat induk, apalagi tanah itu masih dijaminkan, maka bank tidak dapat membuat AJB. Sebagai solusi dibuatlah PPJB. Pada saatnya nanti, jika tanah tersebut sudah dipecah sertipikatnya maka dapat dibuat AJB.
Kedudukan PPJB bukan sebagai bukti pemilikan tanah. PPJB hanya bukti bahwa developer berjanji untuk menjual tanah pada waktu yang akan datang. Meskipun PPJB bukan bukti pemilikan tanah, tetapi dengan adanya PPJB tersebut Bapak berhak “menagih” developer untuk membuat AJB jika sertipikat tanah sudah selesai dipecah.
Dear Pak Ismail,
Mohon arahan untuk permasalahan berikut ini,
– Ayah saya membeli sebidang tanah pada tahun ’84, dengan bukti pembelian hanya berupa Kwitansi bermaterai dan tidak ditindak lanjuti ke akta jual beli/balik nama. Saat ini ayah saya sudah meninggal begitu juga pemilik tanah sebelumnya.
Saya sebagai ahli waris memegang sertifikat asli&kwitansi jual belinya. Dari ahli waris pemilik lama juga mengakui bahwa tanah tersebut memang sudah di jual kpd dan dibeli oleh ayah saya.
– Pertanyaan saya adalah, langkah2 apa saja yang harus saya lakukan apabila saya berniat menjual tanah tersebut di kemudian hari. Apakah pembuatan akta jual beli bisa dilakukan oleh para ahli waris dengan berdasarkan kwitansi jual beli di masa lampau.
Secara hukum, jual beli yang demikian dianggap belum memindahkan hak milik atas tanah kepada pembeli.
Pasal 1459 KUH Perdata:
Hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613 dan 616.
Pasal 616 KUH Perdata:
Penyerahan atau penunjukan barang tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620.
Pasal 37 Peraturan Pemerintah No, 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah:
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar
pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang yang bersangkutan.
Dengan demikian, agar jual beli tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku, maka harus dibuat Akta Jual Beli. Semestinya AJB tersebut oleh ayah Bpk Bimo dan penjual. Tetapi karena penjual dan pembeli sudah meninggal dunia, maka seluruh ahli waris penjual dan pembeli harus menandatangani AJB.
Ahli waris penjual berkewajiban untuk menyerahkan tanah kepada pembeli karena tanah tersebut adalah “hutang” dari pewaris (penjual) kepada pembeli.
Yang harus dimusyawarahkan antara para ahli waris pembeli dan penjual adalah masalah perpajakan. Penjual wajib membayar Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah sedangkan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah. Pajak dan BPHTB tersebut dinilai berdasarkan NJOP saat AJB di tandatangani.
Selamat sore pak Ismail
Mohon pencerahan pak, saya dan suami berniat membeli rumah dari Ibu A. Rumah sertifikat hak milik a.n. Ibu A tahun 1999, sementara ibu A janda cerai hidup akta cerai tahun 1998. Oleh notaris disyaratkan untuk menyampaikan AJB karena ditakutkan rumah tersebut harta gono gini. Sedangkan menurut ibu A rumah tersebut bukan harta gono gini, dan soal AJB tidak dapat disampaikan karena sudah tidak ada lagi, minta ke kecamatan jg tidak ada arsipnya. Apakah pembelian rumah tersebut akan cacat hukum jika tidak menyampaikan AJB? atau bagaimana cara pembuktian kalo rumah tersebut bukan harta gono gini. Terima kasih sebelumnya pak.
Untuk mengetahui riwayat pemilikan suatu tanah, bisa dilihat dari AJB dan sertipikat. Di dalam sertipikat dapat dilihat asal dari pemilikan.
Misalnya:
– Kolom asal persil; tertulis asal persil tersebut
– Kolom penunjuk: tertulis nomor AJB
– Pada halaman “pendaftaran peralihan hak, pembebanan dan pencatatan lainnya”. : tertulis proses peralihan tanah.
Saya dapat memahami jika notaris/PPAT meminta dokumen tambahan untuk meyakinkan kepemilikan atas tanah tersebut. Meskipun di sertipikat tertulis tahun 1999, bukan berarti proses pemilikannya adalah tahun 1999. Karena mungkin tahun 1999 adalah tahun terbitnya sertipikat sedangkan proses peralihan haknya terjadi sejak 1998 disaat ibu A masih berumah tangga.
Jika dokumen di kecamatan tidak ada, maka ibu Ana bersama dengan Ibu A dapat datang ke Kantor Pertanahan setempat untuk melihat buku tanah atas sertipikat tersebut. Selaain itu minat dibuatkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kantor Pertanahan.
Pak ismail… mohon pencerahannya saya lagi bingung. Saya beli tanah dari N dibyr tunai juni 2017, secara adat hanya dengan kwitansi bermaterai, 2 saksi masih hidup, serta foto dan video transaksi, N hanya memperlihatkn fotokopian segelnya saja, segel itu keluaran januari 2017 dan didenahnya ada garis pemotong antara rumah dengan ukuran tanah sekian dan tanah kosong dibelakang rumah dengan ukuran sekian yg saya beli hanya tanah kosong belakang rumah dengan ukuran sekian, N berjanji akan memecah segelnya dan membuatkn segel tanah atas nama saya yg sampai saat ini tidak dipenuhinya dengan bermacam alasan, saya baru tau ternyata pada 2017 itu segel tanah itu sedang berada ditangan bank karena N pinjam uang di bank, awal 2019 ada yg mengabarkan pada saya bahwa ada org bernama S dtg kelokasi tanah mengklaim tanah itu miliknya dan hendak menjualnya. S mengatakan dia memegang segel 2 lembar keluaran 2012 , ternyata N menggadaikn 2 lembar segel tanah dibelakang rumahnya (yg sudah saya beli) pada S untuk pinjam uang, tapi karena pembyran N macet pada S maka S pun mencari tanah itu dan hendak menjualnya. Setelah saya telusuri ternyata 2 segel tanah itu segel lama sebelum N memperbaharui segelnya supaya asetnya jadi satu ( rumah dan 2 tanah) yaitu segel 2017 tadi, saat ini segel asli keluaran 2017 tadi berada ditangan Y karena Y menebuskn segel itu dibank dan membeli bagian rumah N, jadi satu segel ada dua org , saya mau memecah segel ditgn Y supaya kami msg2 membuat segel atas nama kami sendiri terkendala,karena segel 2012 ditangan S tadi, kami sudah berembug didepan kepala desa, saya mencoba jelaskn saya sudah membeli tanah itu tapi S bersikeras tanah itu miliknya dia yg kuat karena segel ada ditgnnya dan bahkan nantangi saya kemanapun saya bawa masalah ini tetap dia yg menang, parahnya lg kepala desa aparat setempat, lebih mendukung S karena segel ditgnnya mereka menyayangkan saya beli tanah kenapa segelnya tidak langsung direbut atau diambil,mereka menyamakn dengan beli kendraan bermotor kalau tidak ada BPKBnya saya tidak ada kekuatan apa2.
Apa benar pak saya tidak ada hak pada tanah itu ?
Apa yang harus saya lakukn kalau kepala desanya saja lebih mendukung S?
Secara singkat dapat kami jelaskan bahwa kedudukan S adalah hanya sebagai pihak penerima jaminan, S bukan pemilik tanah. Apabila N tidak mampu membayar pinjaman kepada S, S tidak dapat mengambil begitu saja tanah N. S hanya dapat meminta pelunasan melalui jalur hukum. Cara yang dapat ditempuh S adalah dengan dua kemungkinan, yaitu: (1) jika tanah tersebut sudah dijaminkan dengan Hak Tanggungan, maka S dapat meminta penjualan secara lelang; (2) jika tanah belum diikat dengan Hak Tanggungan, maka S harus mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk meminta pelunasan utang N. Jadi, S tidak dapat sepihak mengaku sebagai pemilik tanah N.
Permasalahan yang ibu sampaikan memerlukan pemeriksaan lebih rinci atas semua fakta dan bukti yang ada.
Oleh karena itu, kami menyarankan agar masalah ini dibawa ke jalur hukum yaitu melalui gugatan perdata. Ibu dapat menggugat N atas dasar perbuatan melawan hukum karena menjual tanah yang sedang dijaminkan kepada S dan kepada bank. Perbuatan melawan hukum dari N adalah karena tidak secara jujur menjelaskan keadaan tanah yang sebenarnya.
Siang Pak ,
saya mau menanyakan masalah pembuatan sertifikat , sekitar thn 80an Bapak saya ada membeli tanah kemuadian di bangun rumah , pada saat mau membuat sertifikat semua surat2 nya hilang termasuk kwitansi pembeliannya , jadi kita tidak punya bukti apa2 , yang kami punya hanya bukti pemasangan lisrik dan pembayaran PBB , apa yang harus kami lakukan aga kami dapat membuat sertifikat atas tanah tersebut sedangkan penjual tanahnya sudah lama meninggal dan ahli warisnya sudah pindah dari kampung kami .
SEbelumnya terima kasih Pak atas tanggapannya …
Wassalam …
Untuk melakukan pedaftaran hak atas tanah baru (pensertipikatan) memang dibutuhkan persyaratan dokumen-dokumen. Akan tetapi mengacu pada PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimungkinkan bagi masyarakat untuk melakukan pendaftaran jika dokumen kurang lengkap.
Pasal 24
(1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluanpendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Mohon Bantuan dan Arahanya Pak Is.
1.Bagaimana cara agar kita tau apakan tanah tersebut sudah di jual atau belum?dikarenakan saya tidak bisa mendapatkan informasi dari penjaga kebun tersebut,dan siapa pun.Nah saya mempunyai pikiran, Apakah saya harus ke BPN Badan Pertanahan Nasional) untuk menayakan tanah tersebut sudah laku atau belum?
2.Jika kita membuat janji lisan atau kesepakatan untuk bagi hasil jika tanah tersebut laku,komisinya di bagi-bagi 4org.Nah tanah tersebut laku,tetapi 2 org ini melanggar kesepakatan tersebut dan cuma hanya diam” saja tanpa sepengetahuan saya dan si A bahwa mereka mendapatkan komisi. apakah sangsinya gimana kalau menurut pandangan hukum?dan saya harus berbuat apa,dikarekan saya juga sudah menyumbangkan kontribusi dana ke 2 org tersebut untuk membantu biaya operasional mereka.
Saya punya seorang kakek, memiliki 3 anak ( 2 perempuan dan 1 laki2). Kakek saya ini sedang berada dalam keadaan yang dikompor-kompori oleh orang lain untuk menjual tanahnya. Dan kakek saya ini kurang peduli terhadap anak lakinya. Ketakutan Bapak saya adalah kakek nanti menjual tanahnya. Apakah kakek saya ini bisa menjual tanahnya tanpa sepengetahuan anak lakinya? kami sekeluarga beragama hindu
Yang harus diperhatikan pertama kali adalah mengenai kepemilikan atas tanah tersebut.
1. Apakah tanah tersebut mutlak milik Kakek 100% ? Misalnya karena tanah tersebut adalah harta bawaan kakek sebelum menikah, atau tanah tersebut adalah hasil pembagian warisan yang menjadi hak kakek; atau
2. Apakah tanah tersebut merupakan harta bersama antara Kakek dan Nenek?. Jika tanah tersebut harta bersama, berarti ada hak nenek sebesar 50% dari tanah tersebut.
Apabila tanah tersebut adalah sebagaimana disebut dalam nomor 1 di atas, maka Kakek berhak bertindak secara hukum atas tanah tersebut, termasuk menjual, tanpa persetujuan siapapun.
Apabila status tanah tersebut sebagaimana dimaksud nomor 2 di atas, maka masih ada bagian nenek 50%. Bagian nenek tersebut diwariskan kepada anak-anak dari Kakek dan nenek. Jadi jika Kakek akan menjual tanah tersebut, perlu “persetujuan nenek”. Jika nenek sudah meninggal maka persetujuan tersebut diberikan oleh ahli waris nenek.
Yth.Bp. Ismail Marzuki
Sy baru saja mendapatkan tanah waris keluarga.setelah sy cek ternyata orang tua sy telah meng AJB kan tanah yg merupakan hak sy kepada kk tertua sy.bagaimana cara nya supaya hak tanah yg telah ber ajb kan kk sy itu kembali lagi ke sy.
Pertanyaan Saya adalah, kapan tanah tersebut di AJB-kan ke atas nama kakak Bu Fitri? Apakah AJB itu dibuat sebelum Pewaris wafat? atau sesudah Pewaris wafat?
Jika AJB itu dibuat setelah Pewaris wafat dan tanah tersebut merupakan bagian ibu, maka ibu dapat meminta pembatalan atas AJB tersebut melalui pengadilan.
Jika AJB tersebut dibuat sebelum Pewaris wafat, berarti tanah tersebut bukan bagian dari harta yang diwariskan. Meskipun tanah tersebut bukan merupakan warisan, tanah yang diberikan sebagai hibah kepada Kakak Ibu Fitri dapat diperhitungakn sebagai warisan berdasarkan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam. Jadi, seluruh harta Pewaris dihitung kembali dan ditambah dengan tanah yang dihibahkan kepada Kakak bu Fitri tersebut. Hasil penghitungan tersebut baru dibagikan kepada seluruh ahli waris.
Yth. pak Ismail,
Saya membeli sebidang tanah kaplingan kepada si A, dengan surat sertifikat, dengan perjanjian ada jalan selebar 4 mr, sepanjang 60 m, menuju lokasi tanah tersebut dan ybs. telah menunjukkan surat perjajian izin lewat tanpa ada batas waktu yang ditentukan dengan nilai sebesar Rp. 42.500.000 kepada si B. Dan beberapa tahun kemudian si B memportal jalan masuk tersebut, dengan syarat kalau lewat harus membayar sesuai dengan keinginannya. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah kami pembeli tanah kaplingan tersebut dapat memperkarakan si B atau si A ke Pengadilan, mohon jawabannya trims.
Dalam hukum, perjanjian yang dibuat berkaitan dengan izin melewati pekarangan disebut “hak servituut” atau Pengabdian Pekarangan.
Hak servituut adalah beban terhadap suatu pekarangan untuk keperluan pekarangan lain yang berbatasan. Dalam hak servituut ini seorang pemiik pekarangan memberikan hak untuk melintasi tanah untuk kepentingan tanah yang berbatasan. Misal, B mengizinkan orang-orang menggunakan tanahnya untuk dilintasi oleh orang yang akan ke tanah A.
Hak ini adalah hak kebendaan sehingga hak tersebut tetap melekat meskipun tanahnya dijual kepada pihak lain. Dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 674 – 710.
Jadi, si B dilarang untuk memportal tanah tersebut.
saya mau tanya pak,..permasalahan tanah, orang tua saya membeli tanah pada tahun 1975 sejumlah 4 bidang letaknya sejajar ketika tahun 2013 orang tua saya menjual tenyata satu bidang dari 4 di klaim atas nama PT. ketika kami telusuri ternyata PT. membeli dari orang lain yang tidak ada sangkutan keluarga dengan kami/orang lain dah telah memiliki AJB lalu kami melakukan musyawarah dengan pihak penjual dan PT ternyata orang tersebut tidak merasa menjual sedangkan pihak PT. bersikeras mempertahankan tanah tersebut yang seudah di AJB kan sama pihak PT. pertanyaan saya apa ada kekuatan hukum pihak keluarga untuk menggugatnya, tolong dikasih solusinya atas permasalahan tersebut, terimaksih atas perhatinannya ….
Setiap transaksi jual beli tanah harus dibuktikan dengan Akta Jual Beli. Maka untuk mengetahui apakah seseorang atau PT benar-benar telah membeli/menjual sebidang tanah, PT tersebut harus membuktikan adanya AJB, dari AJB bisa diketahui siapa yg menjual tanah tersebut.
Sepanjang keluarga Bapak Lindu memiliki bukti atas kepemilikan atanah tersebut dan belum pernah menjual kepada pihak lain (PT) maka Bapak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat.
Ok Pak, terima kasih banyak atas penjelasannya. Luar biasa. Semoga makin sukses terus ya Pak dan tetap rendah hati utk bisa menanggapi pertanyaan2 kami yg “buta” hukum.
Tuhan memberkati.
Pak Ismail, terima kasih banyak atas jawaban Bapak yg sangat cepat dan juga penjelasan Bapak. Dari penjelasan Bapak, saya memperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya rumah yg akan dijual Ibu “A” tsb tidak ada masalah utk dilakukan proses jual-beli baik PPAT akan membuat akta yg menyatakan Ibu “A” dgn status janda maupun sesuai contoh dr Bapak diatas.
Sekali lagi saya mohon penjelasan utk penegasan saja karena saya tidak paham hukum, jadi harta bawaan yg diperoleh sebelum menikah, meski tidak ada perjanjian pisah harta –> tidak termasuk harta gono gini ya Pak?
Yg artinya jika saya dan suami membeli rumah tsb, prosesnya tidak akan “cacat” hukum?
Karena saya mendapat informasi dari seorang teman bahwa jika pemilik rumah ada perkawinan dgn WNA maka rumah dan tanah tsb adalah milik negara karena WNA tidak boleh mempunyai tanah di Indonesia. Teman saya menginformasikan bahwa jika saya dan suami membeli rumah tsb maka akan “cacat” hukum.
Sekali lagi mohon penjelasannya Pak… Terima kasih banyak sebelumnya…
Menurut UU Perkawinan, harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama suami dan isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan yang menyatakan sebaliknya. Dengan demikian, jika tidak ada perjanjian pisah harta, maka otomatis harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama.
Dalam permasalahan yang ibu ajukan, berarti yang terjadi antara Ibu A dengan Mr WNA adalah harta bersama. Akan tetapi meskipun harta bersama, rumah Ibu A tidak termasuk dalam harta bersama atau harta gono gini karena rumah tersebut dimiliki ibu A sebelum menikah dengan Mr WNA.
Mengenai pemilikan tanah oleh WNA, memang betul bahwa WNA tidak boleh memiliki tanah dengan status tanah Sertipikat Hak Milik. Akan tetapi dalam kasus ibu A, rumah/tanah tersebut bukan milik Mr WNA tetapi milik ibu A sehingga tidak terpengaruh dengan status kewarganegaraan Mr WNA
Pak, mohon penjelasannya atas status hukum utk kasus berikut ini :
Jika saya (WNI) dan suami (WNI) membeli sebuah rumah atas nama Ibu “A” (WNI) yg menikah dengan Mr. “B” (WNA), apakah ada masalah?
Detail jelasnya sbb :
Ibu “A” (WNI) sebelumnya menikah dengan Bapak “C” (WNI), mempunyai 2 orang anak dan kemudian bercerai (saya kurang tahu bercerai di tahun berapa).
Setelah bercerai, Ibu “A” (WNI) membeli rumah atas nama Ibu “A” sendiri di tahun 2008.
Kemudian Ibu “A” (WNI) menikah dengan Mr. “B” (WNA) di tahun 2009 dengan surat nikah di luar negeri (tidak ada surat nikah Indonesia) dan tidak ada perjanjian pisah harta.
Jika saya dan suami membeli rumah tsb, apakah ada masalah secara hukum?
Menurut notaris yg kami datangi, rumah tsb bisa diproses jual beli dengan cara : tidak menyebutkan mengenai suami Ibu “A” yg sekarang (yg merupakan WNA) dan karena tidak ada surat nikah di Indonesia, maka jual beli bisa diproses dengan status Ibu “A” sebagai janda cerai hidup.
Mohon tanggapannya utk kasus kami ini Pak, bantuannya sangat kami harapkan sekali.
Terima kasih banyak sebelumnya.
Berdasarkan informasi yang ibu sampaikan, setidaknya ada 2 bidang hukum yang berkaitan dengan pertanyaan yang ibu ajukan, yaitu: (i) hukum perkawinan; dan (ii) hukum pertanahan.
Hukum Pertanahan:
Mengacu pada hukum pertanahan, jika rumah yang di beli oleh ibu A telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka rumah tersebut sah sebagai milik ibu A. Sebagai pemilik, maka Ibu A berhak menjual tanah tersebut kepada siapapun.
Hukum Perkawinan:
Perkawinan yang terjadi di luar negeri diatur dalam Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Berdasarkan pasal 56 tersebut Ibu A dan Mr WNA wajib mendaftarkan perkawinannya tersebut di Kantor Catatan Sipil dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke Indonesia. Meskipun demikian, apabila tidak didaftarkan, UU tidak menyebutkan bahwa perkawinan tersebut menjadi tidak sah.
Dengan asumsi bahwa perkawinan Ibu A dengan Mr WNA adalah sah, bagaimana dengan proses jual beli rumah Ibu A tersebut?
Dari informasi ibu Anna, Ibu A memperoleh rumah tersebut tahun 2008 sedangkan perkawinan dengan Mr WNA tahun 2009. Dengan demikian, maka rumah ibu A tersebut termasuk dalam harta bawaan.
Pasal 35 (UU Perkawinan)
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Jadi, meskipun seandainya perkawinan ibu A dan Mr WNA tersebut sah secara hukum Indonesia, karena rumah ibu A tersebut adalah harta bawaan, maka ibu A berhak sepenuhnya menjual rumah tersebut tanpa persetujuan Mr WNA.
Di dalam akta jual beli, dapat disebutkan identitas ibu A bukan sebagai janda tetapi sebagai isteri dari Mr WNA. Sekedar contoh penyebutan di akta misalnya: (mohon konsultasikan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan membuat AJB-nya)
“Ibu A, ibu rumah tangga, dilahirkan di Jakarta, tanggal dd bulan mm tahun yyyy, bertempat tinggal di jalan abcde.
Menurut keterangannya:
a. Ibu A tersebut telah menikah dengan Mr WNA di Negara Amerika Serikat, berdasarkan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, sebagaimana dibuktikan dengan Marriage certificate tanggal dd1 bulan mm1 tahun yyyy, yang sampai dengan tanggal akta ini dibuat perkawinan tersebut belum didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
b. Rumah yang menjadi objek jual beli ini diperoleh oleh Ibu A tahun 2008 yaitu sebelum dilaksanakannya perkawinan dengan Mr WNA, sehingga menurut hukum rumah tersebut merupakan harta bawaan ibu A.”
Kalimat-kalimat tersebut di atas adalah contoh dari saya untuk dimuat dalam AJB. Pada pelaksanaannya bergantung pada PPAT, apakah mau menggunakan kalimat seperti tersebut atau tidak.
Saya mohon bantuannya kepada pak Ismail bagaimana menanggapi masalah saya seperti berikut :
1. Ayah saya meninggl dunia pada Tahun 2010 dan meniggalkan sebuah tanah yang diatasnya berdiri tempat usaha beliau… Tanah tersebut sudah bersertifikat atas nama Ayah saya begitu juga dengan badan usahanya… Namun ketika ayah meninggal saudara-saudara beliau (Kakak Ayah) menghendaki tanah tersebut dikembalikan kepada mereka.
2. Mereka beranggapan tanah tersebut adalah hibah dari kakek (orang tua Ayah) kepada ayah sehingga mereka mau hibahnya tersebut dibatalkan… Sedangkan Ayah telah merubah surat hibah tersebut menjadi sebuah sertifikat atas nama ayah saya pada tahun 2007…
3. Saat ini saya dilaporkan sebagai tersangka atas masalah ini dikarenakan tidak mau memberikan tanah tersebut dan proses hukumnya berada di Pengadilan Tinggi, sebelumnya di Pengadilan Daerah saya dibebaskan atas segala tuduhan dan dinyatakan menang (untuk hal ini saya dimintai uang yang tidak sedikit oleh oknum)…
4. Kemudian Pihak lawan (saudara Ayah saya) mengajukan banding dan permasalahan hukum masuk ke pengadilan tinggi (disini saya diimingi kemenangan dengan syarat saya harus membayar sejumlah uang jika tidak maka pihak lawan yang katanya telah menyetor sejumlah uang akan dimenangkan)… lalu saya berfikir jika saya membayar dan dimenangkan maka pihak lawan masih bisa mengajukan kasasi maka saya urungkan membayar sejumlah uang tersebut, dan benar saja seperti dugaan saya… saya dinyatakan kalah dan bersalah…
5. Saat ini saya sedang mengajukan kasasi… namun saya masih bingung apakah saya harus juga bermain uang ? hati saya enggan untuk melakukan hal ini hati nurani saya menolak untuk melakukan sogok dan semacamnya, Namun kata pengacara dan orang2 yang saya temui mereka bilang emang seperti ini hukum di Indonesia…
Pertanyaan saya adalah:
1. Apa memang benar di Indonesia kita tidak bisa mendapatkan keadilan tanpa perlu membayar?
2. Apa benar, sebenar apapun kita apabila pihak lawan menyetorkan sejumlah uang maka kita akan kalah ?
3. Bagaimana menanggapi hal seperti ini ? adakah badan Hukum atau semacamnya untuk melaporkan hal tersebut ? Dan bagaimana mekanismenya jika ada ?
Terima Kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca curhatan saya 😀
Semoga Indonesia bisa maju dan terbebas dari segala tindak kecurangan…
Saya memahami kegalauan bapak tentang penegakkan hukum di negeri kita. Tetapi saya masih percaya bahwa pengadilan kita masih dapat dijadikan sarana mengembalikan rasa keadilan yang terkoyak. Adanya berita-berita di media mengenai prilaku negative aparat hukum jangan membuat kita berhenti untuk mempercayai pengadilan.
Saya tidak merekemondasikan bapak untuk menyogok dalam berperkara di pengadilan, bahkan saya melarang bapak melakukan hal tersebut.
Assalammualaikum pak is
Saya minta pencerahan dari pak is
Pada waktu adik saya sakit dia meminta tolong kepada saya untuk menalangi seluruh biaya rumah sakit selama adik saya berobat dirumah sakit, nanti segera di ganti kalau tanahnya yang mau di jual sudah laku, segera saya cari pinjaman kepada teman saya kurang lebih 80 jt. Untuk biaya adik saya. Tapi allah berkehendak. Lain adik saya berpulang ke pangkuan ilahi. Adik saya memiliki anak 2 yang paling besar berumur 16 th dan yang. Kedua 12 thn sedangkan suaminya adik saya tidak bertanggung jawab dan sudah pergi entah kemana. Yang jadi masalah buat saya
1. Apakah bisa saya menjualkan tanah milik adik saya. Yang sebahagian uangnya untuk mengganti uang yang saya pinjam dari teman untuk keperluan biaya berobat adik saya tersebut. Dimana status surat tanah tersebut. Akta tanah atas nama. Almarhum adik saya tersebut.
2. Jika bisa bagaimana prosesnya menjualnya, dan jika tidak bisa apa solusi yang terbaik agar dapat tanah tersebut bisa terjual.
Terima kasih. Saya mohon pencerahan dari pak is.
Wassalam mualaikum wr wb.
Wa’alaikumussalam
Menjawab pertanyan-pertanyaan Bapak, saya sampaikan sebagai berikut:
1. Yang dapat menjual tanah adalah pihak pemilik tanah tersebut.
Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Jika secara formal tanah itu sudah bersertipikat, maka yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum di sertipikat tersebut. Apabila pemilik atau nama yang tercantum dalam sertipikat tersebut wafat, maka yang berhak menjual adalah para ahli warisnya (suami dan anak-anak). Dengan demikian, Bapak Dodhi tidak berhak untuk menjual tanah tersebut.
2. Agar tanah tersebut dapat terjual, maka satu-satunya solusi adalah dengan meminta baik-baik kepada ahli waris, dan menyebutkan alas an mengapa tanah tersebut harus dijual yaitu untuk melunasi hutang yang digunakan untuk biaya adik Bapak selama sakit.
assalamualaikum..
Kasus 1 : keponakan bpk sya meminta harta warisan bagian orng tuanya (sdh meninggal) yg menurut mereka masih ada. Memang tanah itu masih ada namun org tua bapak saya menuliskan surat wasiat bahwa tanah itu sebagai pengganti tanah bapak saya yg dijual oleh nya wlaupun tanah penggantinya lebih kecil. Surat itu sdh ditunjukkan ke keponakan bpk sya namun mereka tdk mau mengerti.dan tanah tsb jg sdh dijual oleh bpk saya krn ditinggali o/ org lain namun di suruh pindah tdk mau jg padahal sdh diberi kelonggaran waktu selama 2 thn. Sebagai penggantinya bapak sya memberikan semua warisan org tuanya yg berada diwilayah lain. Namun ketika keponakannya mengurus tdk bs walaupun memakai surat kuasa krn bapak saya masih hidup.
Kasus 2 : bpk sya dan warga mempercayakan bpk Rt dan Rw (pd saat itu) untuk membuat serifikat tanah. Krn sdh lama dan memakan byk biaya (krn selalu diminta uang secara terus menerus) namun belum jadi jg, perwakilan wrg inisiatif mengurus sendiri ke bag pertanahan. Namun mereka hanya bs membuat 1 sertifikat saja u/ 1tanah/wrga, bapk saya mengurus 2 tanah alhasil hanya 1 saja yg ada suratnya. Permasalahnya, ketika diminta akta jual beli u/ tanah yg satunya lagi ( krn kemarin diminta yg asli) bpk sya dipimpong antara Rt, Rw, kelurahan dan tdk lama Rt/Rwnya meninggal. Bpk sya jg tdk punya fotocopi dr surat sbt.
Pertanyaannya :
1. Bagaimana saya menyikapi persoalan diatas bila dipersoalkan lg ketika bpk sya sdh tdk ada? Apakah keponakan bpk saya ada hak jg ditanah yg diperebutkan itu? Mengingat mempersoalkannya ketika bpknya keponakan sdh tdk ada.
2. Bskah membuat aktajual beli/sertifikat tanah yg baru mengingat penjual sdh tdk ada?
Mohon pencerahannya
Sebelumnya terimaksih bayk dan mohon maaf sangat banyak.
Wassalam…
Tanggapan
Ibu Rini
1. Yang dimaksudkan dengan harta warisan adalah harta yang dimiliki oleh pewaris ketia dia masih hidup dan ditinggalkan oleh pewaris ketika dia meninggal dunia. Dengan demikian, tanah yang saat ini dikuasai oleh orang tua ibu sebetulnya bukan harta warisan dari pewaris tersebut karena ketika pewaris itu masih hidup tanah tersebut sudah dialihkan kepada orang tua ibu, meskipun proses peralihannya masih sederhana hanya dengan selembar kertas.
Agar tanah yang ada sekarang tidak akan dipersoalkan lagi dikemudian hari, pada saat ibu menyerahkan tanah pengganti kepada keponakan tersebut, agar dibuat surat pernyataan atau pengakuan bahwa tanah yang ibu berikan adalah pengganti dari tanah yang sebelumnya.
Untuk kasus yang dihadapi oleh keluarga ibu yaitu tidak dapat memproses pengurusan tanah, mungkin penolakan tersebut terjadi karena surat kuasanya bermasalah. Saran saya, buat surat kuasa secara notaril sehingga surat kuasa tersebut bernilai pembuktian yang kuat.
2. Jika ibu kehilangan salinan akta jual beli, pada dasarnya asli akta jual beli tersebut tersimpan di pejabat Pembuat Akta Tanah saat dilakukannya transaksi jual beli. Ibu dapat meminta kepada PPAT tersebut foto copy atau salinan yang baru. Meskipun demikian, permasalahan akan muncul jika PPAT tersebut ternyata juga kehilangan asli AJB-nya.
Jika AJB juga tidak dapat ditemukan, ibu bisa kumpulkan bukti-bukti lain misalnya kuitansi, bukti pembayaran pajak tanah/PBB dan saksi-saksi yang mengetahui pemilikan tanah tersebut. Sebaiknya ibu langsung berkonsultasi dengan kantor pertanahan setempat.
Pak, Saya baru membeli tanah bersertifikat atas nama si A, tetapi tanah ini sebelumya sudah dijual kepada si B (keponakan si A) tanpa AJB (hanya kuitansi). Saya membeli tanah tersebut lewat si B (hanya dengan kuitansi) dan si B berjanji akan membantu proses balik nama sertipikat (si B akan membuat ajb dengan si A terlebih dahulu). Saya juga sebelumnya sudah menemui si A, tetapi dia hanya mau berurusan dengan si B, karena dia merasa sudah menjual tanah tersebut ke si B, akan tetapi ketika si B meminta tanda tangan untuk pembuatan AJB atau ataupun surat kuasa penjualan, si A tidak bersedia. Jadi Saya tidak bisa membuat AJB dengan si B untuk kepentingan balik nama. Saat ini si B masih berusaha untuk melobi si A agar mau tanda tangan. Yang ingin saya tanyakan (seandainya nantinya si A tetap tidak mau tanda tangan):
1. Antara si A dan si B, manakah yang bisa digugat ke pengadilan? karena si A tidak mau tanda tangan dan si B yang tidak bisa membantu proses balik nama Saya (padahal sebelumya sudah berjani).
2. Apakah ada cara lain agar sertipikat yang saya pegang tetap aman/tidak bisa diganggu (meskipun saya tidak bisa balik nama)?
Wa’alaikumussalam
1. Pada dasarnya setiap orang dapat digugat sepanjang ada relevansinya dengan peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang terjadi. Akan tetapi dalam masalah yang bapak sampaikan, maka pihak yang relevan untuk digugat adalah B karena hubungan yang terjadi adalah antara Bpk Manaf dan B. dalam hal ini B dapat digugat karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan menjual tanah yang bukan hak B.
Meskipun B mengaku telah membeli tanah dari A dengan selembar kwitansi, akan tetapi transaksi tersebut belum memindahkan hak milik tanah dari A ke B.
Ketentuan Pasal 617 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani atau dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan.”
Mengacu pada pasal 617 KUHPerdata tersebut, yang dimaksud dengan akta otentik untuk pemindahan hak atas tanah adalah Akta jual Beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Terhadap A, Bapak Manaf tidak memiliki hubungan hukum dalam kaitannya dengan transaksi jual beli tersebut, kecuali jika pada saat jual beli antara Bapak Manaf dengan B melibatkan A.
2. Jika sekadar untuk melindungi kepentingan Bapak Manaf dari kemungkinan adanya tuduhan penguasaan sertipikat secara melawan hukum, maka Bapak Manaf meminta agar B membuat surat pernyataan bahwa sertipikat tersebut diserahkan sah kepada Bapak Manaf, dan bahwa B memperoleh sertipikat tersebut secara sah dari A berdasarkan transaksi jual beli yang dibuktikan dengan kwitansi. Akan tetapi surat tersebut tidak membuktikan bahwa Bapak Manaf selaku pemilik dari tanah tersebut.
Saran saya, sebaiknya Bapak Manaf beserta B bersama-sama berbicara dengan A untuk menyelesaikan masalah ini. Jika keberatan dari A adalah masalah biaya (pajak, biaya PPAT, biaya balik nama) maka masalah biaya ini dapat ditanggung berdua antara Bapak Manaf dengan B, atau jika memang nilai biaya tidak terlalu besar, tidak ada salahnya jika Bapak Manaf mau berkorban sedikit menanggung biaya tersebut. Tujuan utama adalah bagaimana agar tanah tersebut sah menjadi milik Bapak Manaf. Jika jalan perundingan dapat ditempuh (meskipun seandainya bapak harus menanggung biaya-biaya) itu akan lebih baik daripada berperkara di pengadilan yang tentunya memakan waktu lama dan menguras energy bapak.
Keputusan ada di tangan Bapak Manaf.
Assalamualaikum pak, sekitar 23 tahu yang lalu ibu saya membeli tanah+rumah dari kakak ibu saya, namun sertipikat tanahnya masih berada di bank karena kakak ibu saya tersebut meminjam uang ke bank dengan jaminan tanah tersebut. dan baru pada tahun 2012 sekarang sertipikat tersebut bisa di terima oleh ibu saya. sertipikat tersebut ada dua yaitu SHT dan SHM. pertanyaannya: jika mau balik nama caranya harus bagaimana? apakah tanda lunas dari bank juga harus di bawa? surat apa saja yang harus dipersiapkan?
Dari pertanyaan bapak, diketahui bahwa terjadinya transaksi jual beli tanah 23 tahun yang lalu adalah ketika sertipikat sedang berada dalam penguasaan bank. Dengan demikian, saya berasumsi ketika itu jual belinya tidak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena biasanya PPAT akan meminta sertipikat asli ditunjukkan ketika dibuatnya akta jual beli.
Dengan asumsi tersebut, maka jika akan melakukan balik nama, terlebih dahulu harus dibuat akta jual beli dihadapan PPAT. AJB tersebut ditandatangani oleh Penjual (Kakak-nya ibu) dan ibu Pak d3dens selaku Pembeli.
Dokumen yang harus dipersiapkan antara lain: KTP Penjual dan Pembeli, Pajak bumi dan bangunan, SHM, SHT, dan keterangan lunas dari bank. Mengingat dalam SHM tersebut masih ada hak tanggungannya, maka hak tanggungan tersebut harus di roya. Seluruh proses roya dan balik nama dilakukan melalui PPAT.
Demikian, semoga bermanfaat
APAKAH PEMBELIAN RUMAH CUKUP DIBUKTIKAN DENGAN KWITANSI ?
assalamualaikum..
begini pak sekitar 3 bulan yang lalu, orang tua saya membeli sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah saya yang saya tempti saat ini. pemilik rumah tersebut kebutalan seorang chainesse. sebelum dibeli oleh orang tua saya, rumah tersebut disewakan oleh pemilik tersebut kepada orang lain. dan begitu kontrak rumah itu selesai kemudian dibeli oleh orang tua saya.
pembayarannya pun sudah dibayar cash pak, dengan dilengkapi kuitansi pembelian dan akta rumah yang kemudian di berikan kepada pihak notaris yang kami sepakati bersama.
namun, hingga saat ini proses balik nama di pihak notaris belum rampung hingga saat ini pak. berhubung orang tua saya tidak tahu menahu soal hukum jadi proses legalisasi rumah itu sampai saat ini belum kunjung selesai.
adapun alasan dari pihak notaris, karena prosedur balik nama kepemilikan orang chineese membutuhkan waktu yang cukup lama pak. disamping itu katanya belum ada tanda tangan dari pihak keluarga penjual yang sebagian berada di AS.
pak kami mohon bimbingan dari bapak, karena kami ini adalah orang yang tidak mengetahui terlalu dalam soal hukum. yang ingin kami tanyakan disini adalah:
– pak, apakah pembelian rumah cukup dengan menggunakan kwitansi yang ditanda tangani oleh pihak penjual saja?
-apakah ada kemungkinan rumah yang di beli ini menjadi barang sitan negara, karena pemiliknya seorang chenise?
-apa saja langkah saya pak dalam mengantisipasi tindak penipuan yang dilakukan oleh penjual?
kami mohon bapak berkenan untuk menjawab pertanyaan yang menjadi bahan kegelisahan keluarga kami pak. semoga apa yang kami sampaikan kepada bapak menjadi hal yang berguna bagi kami. atas pertolongan dan bimbingannya kami ucapkan terima kasih pak.
wasalamualaikum wr.wb
APAKAH PEMBELIAN RUMAH CUKUP DIBUKTIKAN DENGAN KWITANSI ?
Wa’alaikumussalam
Mba Iis
Jawaban atas pertanyaan 1:
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 thn 1997 tentang Pendaftaran Tanah setiap peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak cukup hanya dengan kwitansi. Kwitansi hanyalah bukti telah terjadi penyerahan uang dari seseorang kepada orang lainnya.
Jawaban atas pertanyaan 2:
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 (UU Agraria), suatu tanah hak milik tidak boleh dimiliki oleh WNA. Apabila dalam waktu 1 tahun WNA tersebut tidak mengalihakn tanah tersebut kepada WNI, maka hak atas tanah tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara. Jika melihat kasus yang mba Iis hadapi, harus dipastikan apakah penjual tersebut WNA atau WNI?
Jawaban atas pertanyaan 3:
Sebelumnya saya akan bertanya kepada Mba, apakah keluarga Mba sudah menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT dengan penjual? Jika sudah, maka keluarga mba tinggal menunggu proses pendaftaran tanah di BPN (balik nama). Jika akta jual beli belum bisa dibuat, maka sebaiknya buat perjanjian tertulis dihadapan notaris berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang memuat janji penjual untuk menjual tanahnya kepada keluarga Mba. Selain itu mintakan surat perjanjian serah terima rumah berikut tanah agar mba dapat menempati rumah tersebut secara legal. Surat perjanjian serah terima rumah tersebut memang tidak lazim dalam proses jual beli yang normal, namun untuk kasus ini diperlukan agar Mba tidak dianggap menyerobot tanah seandainya kasus ini berkepanjangan.
Mengenai keperluan tanda tangan keluarga penjual yang masih berada di AS, asumsi saya adalah tanah tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh keluarga penjual, kemungkinan tanah tersebut adalah warisan sehingga dibutuhkan persetujuan semua ahli waris. Jika ahli waris ada di AS, maka mereka harus membuat surat kuasa untuk menjual tanah tersebut. Surat kuasa yang dibuat di AS harus dilegalisasi oleh notaris di AS dan perwakilan resmi RI di AS (kedutaan).
Demikian, semoga bermanfaat
Siang pak…
Sya mau bertanya tentang sebidang tanah milik almarhum bpk sya.
Tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat hnya ada pbb nya saja. Krna pada saat bpk saya sedang mengurus sertifikat untuk tanah tersebut dia mengalami sakit hingga meninggal jadi pengurusan untuk sertifikatx terhenti krna lurah yg mengurus sertifikat trsebut juga menibggal.
Yg saya binggung tiba2 2tahun ini 2019-2020 ada yg membayar kan pbb tanah trsebut dan mengaku sebagai pemilikx.
Apakah saya atau ibu saya sebagai anak yg punya tanah tersebut bisa mengklaim tanah tersebut dengan bermodal kan pbb saja???
Untuk memastikan suatu bidang tanah dimiliki oleh seseorang, maka alat bukti yang kuat adalah berupa sertifikat hak atas tanah. Dalam sertifikat tercantum nama pemegang hak tersebut.
Apabila terhadap suatu bidang tanah belum bersertifikat atau belum terdaftar, maka pihak yang merasa memiliki harus memiliki bukti yang mendukung pengakuannya tersebut.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PP Nomor 24 Tahun 1997”), dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan mengenai bukti-bukti yang dapat digunakan sebagai dokumen untuk pendaftaran tanah atau pensertifikatan tanah. Bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berikut Penjelasannya tersebut, dapat kita jadikan acuan bagi seseorang yang akan mengklaim suatu bidang tanah.
Bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah:
a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
di daerah yang bersangkutan; atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau
h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau
i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau
j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Apabila bukti-bukti tersebut tidak tersedia, maka diperkuat dengan kehadiran saksi. Jika bu Raodah hanya memiliki bukti PBB saja, maka harus diperkuat dengan saksi-saksi yang mengetahui sejarah pemilikan tanah tersebut.
Berkaitan dengan pertanyaan Ibu, jika ada pihak lain yang mengaku sebagai pemilik tanah, maka orang tersebut harus mampu membuktikan dasar pengakuan. Apakah orang tersebut memiliki sertifkat tanah? Atau hanya PBB saja?
Jika orang tersebut memiliki sertifikat atau PBB atas nama orang tersebut, maka orang tersebut harus membuktikan sejak kapan sertifikat atau PBB tersebut diatasnamakan dia? Pakah pernah membeli dari keluarga ibu?
Jadi, langkah awal yang harus dilakukan adalah bertemu dengan orang tersebut untuk mengetahui kebenaran data. Jika keluarga bu Raodah merasa belum pernah menjual tanah tersebut, maka ibu dapat menggugat pihak tersebut ke pengadilan.
Assalamualaikum Wr wb..
Selamat malam Pak..
saya mau bertanya Pak..
2 tahun yang lalu saya membeli tanah perkebunan dari (sebut C). Jual-Beli kami menggunakan kuitansi yang ditandatangani oleh C diatas materai 6000. Setelah 1 minggu berlalu saya mendengar kabar bahwa tanah tersebut bermasalah, saya langsung menghubungi C untuk menanyakan perihal tanah tersebut. Oleh si C yang awalnya membeli tanah dari seorang kepala desa (sebut B) menjumpai saya dengan membawa B. Oleh saya, saya meminta uang saya dikembalikan, tetapi oleh C saat itu hanya bisa dikembalikan 1/2nya, jelas saya menolak karena rugi, oleh B saya diyakinkan bahwa B yang akan bertanggung jawab untuk menggantikan tanah tersebut.
2 tahun berlalu, tidak ada perkembangan yang berarti, B maupun C seakan lepas tangan, saya jadi bingung. Kepada siapa saya sebaiknya menuntut Pak?apa kepada B?atau C? bukti jual beli kuitansi yang ditandatangani oleh C dan terdapat 1 saksi, tetapi saksi tersebut buron sudah 1 tahun yg lalu karena ada masalah didesa. Apakah B bisa dijadikan saksi saat ada konflik antara saya dan C?apakah kuitansi tersebut termasuk alat bukti yang sah Pak?
sejarah tanah tersebut kemudian saya ketahui, bahwa B membeli dari A dgn luas sekian, tetapi oleh A dijual ke B dengan luas yg lebih besar dengan mencaplok tanah milik F, oleh B dijual ke C dan C menjual ke saya.. Bagaimana jalan keluarnya Pak..?
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih..
Tanggapan
Bapak Syukri
Wa’alaikumussalam
Perikatan yang terjadi dalam transaksi jual beli tanah tersebut adalah antara Bapak Syukri dan C. Oleh karena itu jika Bapak akan menggugat, pihak C lah yang dijadikan tergugat. Semua pihak yang mengetahui peristiwa tersebut, termasuk B dapat dijadikan saksi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum wr wb,
Terima kasih atas jawaban bapak. Ada yang belum saya mengerti mengenai jawaban yang bapak berikan diatas “b. A dan B menandatangani Akta Jual Beli setelah sertipikat kembali kepada A dari bank”.
1. Apakah setelah B melunasi, sertipikat kembali ditangan A atau masih di pihak notaris bank?. Jika langsung di tangan A apakah tidak beresiko mengingat B sudah melunasinya sementara sertifikat ada di tangan A?. Menurut bapak untuk lebih amannya bagaimana?
2. Untuk proses AJB setelah B melunasi di Bank, apakah AJB bisa dilakukan di notaris bank atau menggunakan notaris lain?.
Mohon maaf jika pertanyaannya terlalu mengada-ada pak, maklum saya masih buta untuk jual beli rumah.
Terima kasih banyak Pak Is.
Tanggapan
Ibu Annisa
Wa’alaikumussalam
1. Yang saya maksud dengan “sertipikat kembali kepada A dari bank” adalah bukan dalam arti fisik kertas sertipikatnya, tetapi kekuasaan untuk bertindak atas sertipikat itu yang kembali kepada A. Ketika tanah dijaminkan, sertipikat ada pada bank. Dalam kondisi demikian, A selaku pemilik tidak dapat bertindak atas sertipikat tersebut, karena dalam perjanjian selalu disebutkan bahwa selama hutang belum lunas A tidak boleh menjual atau menjaminkan tanah tersebut kepada pihak lain.
2. Secara umum, jika hutang lunas, maka sertipikat (fisik) akan dikembalikan ke A dari bank. Tetapi khusus untuk transaksi seperti yang ibu sampaikan, tandatangan AJB dilakukan dihadapan PPAT yang biasa di bank tersebut. Sebelum pelunasan, A dan B menyampaikan kepada bank bahwa pelunasan akan menggunakan dana B, dan meminta bank agar tandatangan AJB antara A dan B dilaksanakan di bank oleh PPAT bank pada hari yang sama dengan pelunasan hutang.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Terima kasih pak atas sarannya……semoga saran bapak bermanfaat dan mendapat pahala yg setimpal. Amin… Jujur saya sangat takut pak jika akan terjadi hal buruk pada SPORADIK itu.
Jika benar akan berdampak seperti demikian, mohon petunjuknya pak langkah apa yg harus sy lakukan skrg krn tepat 1 minggu setelah kejadian. Apakah salah jika saya melaporkannya ke kantor polisi, dgn keterangan hilang ??? Terima kasih.
Tanggapan
Ibu Hijrana
jika sertipikat tanah tersebut memang benar-benar hilang, maka ibu harus melaporkan kehilangan tersebut ke kepolisian. Dengan berdasarkan laporan hilang tersebut, ibu mengurus sertipikat Pengganti ke kantor Pertanahan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum Pak Ismail,
Mohon bantuan bapak untuk wacana pertanyaan dibawah ini.
A. Pak bagaimana skema pembelian untuk rumah milik A yang belum lunas KPR di bank dan B ingin membelinya secara cash (bukan oper kredit). Apa yang harus B lakukan?.
B. Bagaimana juga skema pembelian rumah milik A yang masih Petok D dan sekarang masih dalam proses SHM di notaris dan B ingin membeli rumah tersebut secara cash akan tetapi A meminta DP terlebih dahulu padahal serifikat belum jadi. Apakah transaksi tersebut tidak beresiko mengingat SHM masih belum jadi. Apa yang harus B lakukan?
Terima Kasih
Wassalam,
Tanggapan
Ibu Annisa
Wa’alaikumussalam
1. Setiap rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR, dijadikan jaminan untuk menjamin pelunasan hutang pada bank. Dengan demikian, rumah yang akan dibeli B secara kontan saat ini sedang dijaminkan pada bank.
Agar B dapat membeli rumah tersebut dari A, maka selain adanya kesepakatan antara A dan B, kedua pihak yaitu A dan B harus meminta persetujuan bank terlebih dahulu. Setelah bank menyetujui penjualan rumah tersebut maka dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. B melunasi sisa hutang A pada bank. Pelunasan ini diperhitungan sebagai harga beli atas tanah.
b. A dan B menandatangani Akta Jual Beli setelah sertipikat kembali kepada A dari bank
2. Untuk transaksi ini dapat menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaris . Dalam PPJB dicantumkan adanya DP, dan juga dimuat bahwa AJB akan dibuat setelah sertipikat selesai didaftar ke atas nama A.
Dalam setiap transaksi tetap ada kemungkinan resiko. Tetapi dengan adanya PPJB dapat mengurangi resiko.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum Pak….
Saya mau tanya kalaukita kehilangan Sporadikdan jatuh ketangan orang lain, apa dampak terburuknya. terima kasih…..Wassalam
Tanggapan
Ibu Hijrana
Wa’alaikumussalam
Sepanjang yang saya ketahui, istilah sporadik yang sering muncul dalam bidang hukum adalah istilah dalam pendaftaran tanah.
Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual
atau massal.
Jadi, jika yang dimaksud sporadik adalah sebagaimana disebut dalam peraturan tersebut diatas, maka sporadik tidak akan jatuh ke tangan orang lain.
Akan tetapi, saya berasumsi bahwa yang dimaksud dengan sporadik dalam pertanyaan ibu adalah sertipikat tanah. Semoga asumsi saya tidak keliru.
Apabila sertipikat tanah hilang maka, ibu dapat memita penggantian sertipikat tanah ke kantor pertanahan.
Pasal 57 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(1) Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertipikat baru sebagai pengganti sertipikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertipikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
(2) Permohonan sertipikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1), atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53, atau kuasanya.
(3) Dalam hal pemegang hak atau penerima hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah meninggal dunia,
permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
(4) Penggantian sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat pada buku tanah yang bersangkutan.
Dampak terburuk jika sertipikat tanah hilang adalah, apabila si penemu menggunakan identitas palsu sesuai nama yang ada di sertipikat, kemudian menjual atau menjaminkan tanah tersebut.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum pak….
Assalamualaikum wr wb,
1. Pak, tahun 2005 saya membeli sebuah rumah kecil milik almarhumah budhe saya. Ceritanya rumah yang berukuran 7mx10m tersebut dulunya tahun 1982 dibeli dalam bentuk tanah Petok D lalu dibangun berdua oleh almarhumah budhe dan alhamdulillah ibu saya yang masih hidup sampe sekarang dengan bantuan almarhum kakek. Oleh almarhum kakek tanah yang berukuran 7mx10m itu dibuatkan 2 rumah kecil masing-masing berukuran 3,5m x 10m berdampingan. Sayangnya oleh almarhumah budhe rumah itu diatasnamakan beliau dengan almarhum suaminya. Kebetulan budhe meninggal duluan disusul beberapa tahun kemudian suaminya meninggal. Entah karena faktor apa, almarhum suami budhe membakar pinggiran kertas surat Petok D tersebut, yang untungnya semua isi surat masih bisa terbaca. Perlu diketahui almarhumah budhe dan almarhum suaminya meninggal tanpa memiliki anak. Sedang almarhumah budhe dan almarhum suaminya pernah mengadopsi anak (tanpa legalisasi hukum) dari almarhumah kakak ibu saya yang juga sebagai adik dari almarhumah budhe . Ceritanya, almarhumah budhe, sebut saja A adalah anak no 1 dalam keluarga (menikah dengan suaminya tanpa memiliki anak. Almarhum suami Budhe A adalah anak tunggal yang kedua orang tuanya sudah meninggal juga), no 2 Pakdhe B yang masih hidup, no 3 almarhumah Budhe C dengan 3 anak (1 nya diadopsi tanpa legalisasi hukum oleh almarhumah budhe A dan almarhum suaminya tersebut, no 4 Ibu saya D yang masih hidup, no 5 Om saya E yang masih hidup. Setelah budhe A dan suaminya meninggal, diputuskan bahwa rumah dijual ke saya (anak ibu D), sayangnya jual beli tersebut dibawah tangan hanya mengetahui seluruh keluarga pihak ibu saya yang saya sebutkan diatas dengan menandatangani surat perjanjian jual beli saja. Sedangkan dari pihak keluarga ibu tidak melibatkan keluarga almarhum suami budhe A seperti sepupunya mengingat almarhum suami budhe A adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya juga sudah meninggal. Saat ini saya berusaha mengurus proses balik nama tersebut, namun di tengah jalan menemui kesulitan karena surat nikah almarhumah budhe A dan almarhum suami tidak diketemukan, surat kematian suami budhe A tidak diketemukan, surat kematian almarhumah budhe C juga tidak diketemukan sementara posisi suami almarhum budhe C sekarang dipenjara karena suatu kasus. Oleh pihak kelurahan saya diharuskan untuk mengurus surat waris terlebih dahulu baru kemudian bisa dibalik nama atas saya dan ibu saya.
Pertanyaan saya adalah:
A. Bagaimanakah proses pengurusan surat waris, saya sudah pernah menanyakan ke pengadilan agama tapi saya diharuskan membuat sendiri / dibantu orang lain dan kemudian diajukan ke sana. Namun saya pernah membaca suatu blog cukup dilakukan di kelurahan dan kecamatan. Mana yang benar pak Is?.
B. Apa yang harus saya lakukan mengingat semua surat kematian almarhumah Budhe C dan almarhum suami budhe A tidak diketemukan, surat nikah almarhumah budhe A dan suami tidak diketemukan dan almarhumah budhe C (suami masih hidup dan dipenjara) juga tidak diketemukan.
C. Bagaimana caranya supaya saya bisa membalik namakan surat rumah tersebut atas nama saya dan ibu saya. Secara fisik saya adalah yang membayar PBB dan listrik yang masih atas nama almarhum suami budhe dan saya juga yang merenovasi rumah tersebut.
D. Apakah saya perlu membaliknamakan PBB dan listrik atas nama saya. Perlu diketahui rumah tersebut terpasang listrik atas nama almarhum suami budhe A dan saya untuk rumah sebelahnya dan PBB masih nama almarhum suami budhe A.
Terima kasih atas bantuannya. Semoga kebaikan bapak membantu sesama akan di lipatgandakan oleh Allah SWT.
Tanggapan
Ibu Khadijah
Wa’alaikumussalam
Mengacu pada Peraturan Menteri Agraria No 3 Tahun 1997 Pasal 111, untuk Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah, melampirkan:
i. bagi warganegara Indonesia penduduk asli :surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia
ii. bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris,
iii. bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
Tanggapan B, C, dan D:
Untuk melakukan pendafataran tanah, dibutuhkan bukti-bukti untuk memperkuat kepemilikan tanah seseorang. Jika bukti-bukti tidak lengkap atau tidak ada, maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengacu pada Pasal 76 PMA No. 3 Tahun 1997, yaitu:
Pasal 76
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) huruf c harus disertai dengan dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :
a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau
b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau
f. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, atau
g. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Peme-rintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
h. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
i. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau
j. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
k. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau
l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
(2) Apabila bukti kepemilikan sebidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap atau tidak ada, pembuktian kepemilikan atas bidang tanah itu dapat dilakukan dengan bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang manyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut.
(3) Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak ada maka permohonan tersebut harus disertai dengan:
a. surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1) bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih;
2) bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;
3) bahwa penguasaan itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;
4) bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa;
5) bahwa apabila pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
b. keterangan dari Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersang-kutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas, sesuai bentuk sebagaimana tercantum dalam lampiran 14.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Assalamu alaikum Pak Marzuki,
Saya Saipul dari Gowa Sul-sel. Saya senang sekali bisa menemukan rubrik tanya jawab ttg hukum ini.
Saya ada beberapa pertanyaan menyangkut pertanahan.
1). Bagaimana cara melakukan gugatan terhadap sertifikat tanah yang tidak sesuai dengan data pisik. Ada tetangga yang membuat sertifikat tanah yang luasnya sudah menyebrang jauh ke tanah milik saya dan baru ketahuan. Pada saat pengukuran, tidak melibatkan saya sebagai pemilik. Mereka melakukan secara diam diam. Saya melihat PP 24 thn 1997 yg salah pasal menyatak “…sertifikat tidak bisa digugat lagi setelah lima tahun…” Sertifikatnya dari 2006 tapi saya baru tahu 6 bulan lalu kalo ukuran tanahnya sudah jauh berbeda dari yang seharusnya..
2) jika pejabat dusun/desa melakukan perubahan data buku tanah (buku kepemilikan tanah ditingkat dusun…) secara sepihak, kemana harus mengadu?
3) saya punya kakek sudah lama meninggal dan mempunyai sebidang tanah. Setelah meninggal, tetangganya yg masih hubungan keluarga mengklaim bahwa tanah kakek saya sudah dijual kepada dia. Anehnya, tidak ada satu tanda bukti yg saya bisa liat… Saat ini, tanah tersebut sudah dibuatkan sertifikatnya atas nama dia. Bagaimana cara menggugatnya.
Makasih,
Saipul
Tanggapan
Bapak Saipul
Wa’alaikumussalam
1. Sertipikat Tanah merupakan produk atau Keputusan Tata Usaha Negara. Apabila seseorang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata usaha Negara maka dapat mengajukan Gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara ke pengadilan Tatas Usaha Negara.
Pasal 55 UU Peradilan Tata Usaha Negara
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
SEMA No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 menyebutkan:
Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut
Jadi, dalam masalah tersebut, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara
2. Buku tanah ada di Kantor Pertanahan, kepala dusun tidak berwenang mengubah buku tanah. Jika ada perubahan data, dapat dikategorikan tindak pidana pemalsuan.
3. Jawabannya, sama dengan tanggapan nomor 1 di atas.
Demikian, semoga bermanfaat
Wassalam
Ismail Marzuki
Kepada Bapak Ismail Marjuki yang terhormat,
Saat ini ibu saya sedang menghadapi masalah dan perkaranya sedang bergulir di PTUN, Tanah ibu saya dari warisan kakek yang sudah disertipikat tahun 1995 didoku sebagian oleh tetangga untuk jalan dengan terbitnya sertipikat baru milik tetangga tanpa ibu saya ketahui, begini ceritanya pak, tanah warisan kakek saya luasnya 1800 m, kakek punya anak 4, 1 laki-laki 3 perempuan, kakak laki-laki ibu dapat bagian 900 m jalan kebarat, sedang yang perempuan dapat masing-masing 300 m jalannya ketimur, sedang ibu dapat bagian paling barat, kakak perempuan no 1 dapat tengah sedang kakak perempuan no 2 dapat paling timur hadap jalan utama, untuk memberi jalan keluar buat ibu saya dan kakaknya dipotonglah bagian waris kakak perempuan no 1 36 m dan kakak perempuang no 2 26 m, waktu pembikinan model D (Prona tahun 1982) terjadi kesalahan karena jalannya memotong pekarangan ibu saya kesalahan tersebut baru disadari ibu saya tahun 1994, atas saran perangkat desa (kaur pemerintahan) untuk dibuat sertipikat saja dan benar dengan bukti pendukung yang jujur jadi shm ibu saya tahun 1995 dan waktu pengukuran kepala dusunnya juga menyaksikan. bulan Agustus tukang catat meter yang tinggalnya sekampung dengan ibu saya memberi tahu kalau pagar pembatas dengan pekarangan sebelah dibongkar karena sudah dibuat rumah kaget tentu saja, ternyata pemilik pekarangan sebelah dengan bantuan kepala dusun membuat pernyataan bahwa jalan yang salah model D dihidupkan lagi, celakanya pihak BPN kurang cermat sehingga mengeluarkan SHM untuk pekarangan tetangga tsb yang sudah dijual kepada orang lain dengan menyerobot pekarangan ibu saya, pemilik asli pekarangan tsb tidak bertanggung jawab karena tidak memberi jalan kepada pembeli. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah pihak bpn yang menerbitkan shm tersebut bisa dilaporkan karena sewaktu dipersidangan ptun masih mengintimidasi ibu saya mau dilaporkan kepolisi dengan tuduhan pemalsuan bukti pendukung serfipikat, seandainya pun dilaporkan ibu saya tidak takut karena waktu pembuatan sertipikat tidak menyuap siapapun, karena dianggap ibu saya memalsukan tanda tangan pekarangan yang sebelah barat yaitu suami saksi intervensi yang sdh almarhum karena waktu jadi saksi pihak intervensi istri yang punya pekarangan sebelah barat pekarangan ibu saya bohong besar tidak takut Tuhan karena udah disumpah dia tetap berbohong karena memang surat ukur untuk ibu saya tidak boleh dipinjam oleh bpn (Katanya suaminya) tidak menandatangi surat pernyataan yang menyatakan bahwa pekarangan tsb milik ibu saya saya hanya pinjam untuk jalan saya sendiri, perlu bapak ketahui bahwa pekarangan pakde saya (kakak ibu) dijual kepada 2 orang, yang pekarangan yang bersebelahan dengan pekarangan ibu saya dulu ada jalan keutara dijual duluan sekitar tahun 1980 (luas 350 m) akses jalan keutara sedang yang satunya dijual 1981 luas 550 m, belakang ibu saya baru menyadari kalau akses jalan keutara ditutup makanya datang pemilik pekarangan sebelah barat datang kerumah ibu saya mau pinjam pekarangan untuk menaruh material ternyata pekarangan ibu malah dibuat jalan oleh pemilik pekarangan disebelah barat ibu saya jadi berkepentingan juga selama ini dia cuma pinjam pekarangan untuk jalan tapi oleh istrinya itu diingkari ibu masih punya copy surat pernyataan suami yang punya pekarangan sebelah barat sedang aslinya ditahan bpn mau meminjam aslinya tidak boleh surat pernyataan tsb juga resmi karena dibuat diatas kertas segel.dan apakah pak dukuh (kepala dusun) melanggar hukum karena dia menunjuk batas di 2 shm dan kalau mau melaporkan kemana karena kalau ke pak lurah percuma karena waktu pembuatan shm tahun 2001 (karena tetangga menjual lagi sebagian tanahnya lagi persis dikanan pekarangan ibu saya) yang jadi perantaranya karena pak lurah yang sekarang tahun 2001 jadi kaur pemerintahan sekian terima kasih atas perhatiyan
Tanggapan
Ibu Sri Endah Mur Widayati
Dalam persidangan perkara Tata Usaha Negara, adanya dugaan pemalsuan seperti yang dituduhkan oleh BPN, harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan putusan pengadilan negeri. Jadi, pernyataan palsu tersebut tidak dapat dinyatakan sepihak, tetapi harus berdasarkan pemeriksaan penyidik Polri dan diputus oleh hakim.
Pasal 85 ayat (4) UU Peradilan Tata Usaha Negara:
Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamu’alaykum wr. wb.
Pak Ismail Marzuki yang saya hormati. Saya ingin bertanya.
Almarhum bapak Saya, – anggap saja A – meninggal tahun 1986 dengan mewariskan tanah seluas 700m2 dimana 200m2 dibangun rumah tinggal orangtua dan sisanya kebun. Ketika itu kami masih kecil-kecil sehingga anak tertua – anggap saja Z – berbuat semaunya. Sisa tanah yang 500m2 dia bangun dua rumah yang satu untuk rumah tinggal dia beserta anak istrinya dan yang satunya lagi untuk kontrakan. Hasil kontrakan pun hanya dimakan untuk dia dan anak-anaknya.
November 2013, Z meninggal dunia. Dan kami para ahli waris menemui kendala untuk menjual tanah bapak kami yang seluas 700m2 tersebut kaena anak (sudah dewasa) dan istrinya menganggap Z sudah beli dari almarhum bapak Saya. Mereka tidak ingin menandatangani fatwa waris.
Saat ini kondisi tanah bapak masih berakta jual beli atas nama almarhum bapak kami tahun 1960-an dan belum dibuatkan sertifikat.
Yang ingin Saya tanyakan :
1. Apa yang sebaiknya kami lakukan agar bisa menjual tanah bapak kami karena ahli waris Z (anak istri) tidak mau menandatangani fatwa waris.
2. Bisakah kami melakukan pembongkaran rumah Z yang dibangun di atas tanah bapak kami dan kebetulan Z juga ahli waris.
Terima kasih
Tanggapan
Bapak Anshori
1. Mengacu pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang waris.
Jadi, apabila ada pihak yang tidak bersedia membagi harta warisan, ahli waris dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama untuk menentukan siapa saja yang berhak sebagai ahli waris, atau dikenal juga dengan fatwa waris.
2. Untuk membongkar rumah tersebut, sebaiknya diputuskan terlebih dahulu siapa yang berhak atas tanah tersebut. Jika Bapak Anshori membongkar secara sepihak, maka perbuatan tersebut dapat memancing keruwetan masalah di kemudian hari. Saran saya, sebaiknya ajukan gugatan terlebih dahulu ke pengadilan agama.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Ass Bapak Ismail,
Mohon bantuannya untuk menjawab pertanyaan saya sbb :
1.Kami telah melekukan pelaporan di polres kami tetantang pengrusakan di kebun kami ,pihak polres menggunakan pasal 406 ,pihak polres telah mamanggil terduga tersangka 1 kali dalam proses penyidikan.
Kami ingin bertanya dari proses penyidikan tersebut sampai kepenyelidikan berapa lama pak karena sudah 1 bulan dari pemanggilan tsb belum ada tindak lanjut dari kepolisian sedangkan keterangan saksi dan pemeriksaan lapangan sudah lengkap?????
2. Pada tanah yang telah diusahan oleh pihak kami, namu dipasang pelang nama hak milik oleh orang lain dan dibangun pondok oleh pihak kedua,padahal kami memilik surat SPH sampai camat dan telah lama berusaha pada tanah tersebut.Orang yang melakukan hala tersebut dapatkah dilaporkan sebagai tindak penyerobotan?
3.Orang yang dititipi surat tanah sekitar 5 tahun yang lalu namun pada saat ditanya tidak mau memberikan, malahan dia menyatakan tanah tersebut hak miliknya dengan membuat surat tanah baru ,hal tersebut termasuk melanggar pasal berapa dan alat bukti apa yang dibutuhkan pak?
4.Bagaimana cara membedaKan tanda tangan asli atau palsu pak,sedangkan orang yang bertanda tangan sudah meninggal?
5.Bagaiman membuktikan pejabat yang membuat surat mundur atau menbuat surat pada saat sudah tidak menjabat tetapi memendurkan tanggal tanda tangan disurat ersebut pak?
Atas jawabanya diucapkan terima kasih.
Tanggapan
Bapak Dedi Kurniawan
1. Mengenai batas waktu proses penyelidikan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur hal tersebut. Demikian juga dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012, Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, tidak ada pengaturan mengenai batas proses penyelidikan dan penyidikan.
2. Seseorang yang menduduki suatu bidang tanah harus memiliki alas hak atau dasar kepemilikan atas tanah tersebut. Bukti terkuat atas pemilikan tanah adalah sertipikat tanah. Jika ada seseorang yang menduduki suatu tanah sedangkan tanah tersebut telah dikuasai secara sah oleh pihak lain, maka pihak yang menduduki tersebut dianggap telah menyerobot tanah orang lain. Pasal yang dapat digunakan antara lain Pasal 167 KUHP, 263 KUHP (Pemalsuan surat)
3. Jika pengakuannya terhadap tanah tersebut dibuat berdasarkan dokumen palsu, maka dapat kenakan pasal 263 KUHP
4. Menentukan asli atau tidaknya tandatangan dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium dengan disbanding pada tanda tangan lainnya.
5. Mengetahui apakah surat tersebut ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal surat tentu tidak mudah. Dibutuhkan bukti-bukti bahwa surat tersebut tidak ditandatangani pada tanggal tersebut. Bukti yang dapat digunakan antara lain: Berdasarkan bunyi surat itu sendiri, apakah ada pertentangan antara tanggal surat dengan isi surat; bukti bahwa si penandatangan saat itu sedang berada di luar kota misalnya; bukti berdasarkan nomor buku surat.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Siang Pak Ismail,sangat berisi web bapak ini,saya jadi tau banyak:).Ada berapa hal yang mau saya tanyakan Pak.6bulan lalu saya melakukan pembelian rumah dengan developer ternama dan dilakukan akad kredit KPR dengan bank,penandatangan PPJB dan pengikatan kredit.AJB belum dilakukan karena developer beralasan rumah belum dibangun dan sedang pemecahan sertifikat.AJB akan dilakukan setelah rumah selesai.Apakah hal itu lumrah karena pembangunan cluster sebelumnya juga begitu,rumah selesai baru AJB?Saya cuma memegang fotokopi surat pengikatan kredit,Surat pemesanan rumah dan asuransi kebakaran itupun saya minta ke bank,dari notaris diam2 aja.Copy Surat2 apakah saja sebenarnya yang harus saya pegang?Apakah surat2 ini mempunyai kekuatan hukum bagi saya apabila terjadi sesuatu?Terima kasih sebelumnya
Tanggapan
Bapak Arianto
Seseorang yang akan membeli rumah dari developer dengan fasilitas KPR, maka sekurang-kurangnya akan membuat perjanjian sebagai berikut:
a. Perjanjian jual beli rumah: perjanjian ini dibuat antara Pembeli dan developer
b. Perjanjian kredit: perjanjian ini dibuat antara debitur (pembeli rumah) dan bank
c. Perjanjian pemberian jaminan, berupa Hak Tanggungan; perjanjian ini dibuat antara pemilik tanah (debitur) dan bank.
Idealnya, ketika pembeli membeli rumah dari developer, saat itu juga dibuat dan ditandatangani Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kondisi ideal ini dapat terjadi dalam hal tanah (rumah) tersebut telah memiliki sertipikat tanah tersendiri yang terpisah dari tanah-tanah lainnya. Misalnya: A membeli rumah dari developer dengan luas tanah 200 M2, dan atas tana luas 200 m2 tersebut telah ada sertipikatnya, sehingga dapat langsung dibuat Akta Jual Beli.
Dalam prakteknya, tanah-tanah yang dijual oleh developer pada umumnya masih berada dalam satu sertipikat induk. Sertipikat induk inipun biasanya sudah dijaminkan oleh developer ke bank untuk membiayai kredit konstruksi (untuk membangun perumahan). Karena tanah tersebut masih sertipikat induk, apalagi tanah itu masih dijaminkan, maka bank tidak dapat membuat AJB. Sebagai solusi dibuatlah PPJB. Pada saatnya nanti, jika tanah tersebut sudah dipecah sertipikatnya maka dapat dibuat AJB.
Kedudukan PPJB bukan sebagai bukti pemilikan tanah. PPJB hanya bukti bahwa developer berjanji untuk menjual tanah pada waktu yang akan datang. Meskipun PPJB bukan bukti pemilikan tanah, tetapi dengan adanya PPJB tersebut Bapak berhak “menagih” developer untuk membuat AJB jika sertipikat tanah sudah selesai dipecah.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Dear Pak Ismail,
Mohon arahan untuk permasalahan berikut ini,
– Ayah saya membeli sebidang tanah pada tahun ’84, dengan bukti pembelian hanya berupa Kwitansi bermaterai dan tidak ditindak lanjuti ke akta jual beli/balik nama. Saat ini ayah saya sudah meninggal begitu juga pemilik tanah sebelumnya.
Saya sebagai ahli waris memegang sertifikat asli&kwitansi jual belinya. Dari ahli waris pemilik lama juga mengakui bahwa tanah tersebut memang sudah di jual kpd dan dibeli oleh ayah saya.
– Pertanyaan saya adalah, langkah2 apa saja yang harus saya lakukan apabila saya berniat menjual tanah tersebut di kemudian hari. Apakah pembuatan akta jual beli bisa dilakukan oleh para ahli waris dengan berdasarkan kwitansi jual beli di masa lampau.
Terima kasih atas perhatian&pencerahannya
Salam,
Tanggapan
Bapak Bimo
Secara hukum, jual beli yang demikian dianggap belum memindahkan hak milik atas tanah kepada pembeli.
Pasal 1459 KUH Perdata:
Hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613 dan 616.
Pasal 616 KUH Perdata:
Penyerahan atau penunjukan barang tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620.
Pasal 37 Peraturan Pemerintah No, 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah:
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar
pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang yang bersangkutan.
Dengan demikian, agar jual beli tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku, maka harus dibuat Akta Jual Beli. Semestinya AJB tersebut oleh ayah Bpk Bimo dan penjual. Tetapi karena penjual dan pembeli sudah meninggal dunia, maka seluruh ahli waris penjual dan pembeli harus menandatangani AJB.
Ahli waris penjual berkewajiban untuk menyerahkan tanah kepada pembeli karena tanah tersebut adalah “hutang” dari pewaris (penjual) kepada pembeli.
Yang harus dimusyawarahkan antara para ahli waris pembeli dan penjual adalah masalah perpajakan. Penjual wajib membayar Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah sedangkan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah. Pajak dan BPHTB tersebut dinilai berdasarkan NJOP saat AJB di tandatangani.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Selamat sore pak Ismail
Mohon pencerahan pak, saya dan suami berniat membeli rumah dari Ibu A. Rumah sertifikat hak milik a.n. Ibu A tahun 1999, sementara ibu A janda cerai hidup akta cerai tahun 1998. Oleh notaris disyaratkan untuk menyampaikan AJB karena ditakutkan rumah tersebut harta gono gini. Sedangkan menurut ibu A rumah tersebut bukan harta gono gini, dan soal AJB tidak dapat disampaikan karena sudah tidak ada lagi, minta ke kecamatan jg tidak ada arsipnya. Apakah pembelian rumah tersebut akan cacat hukum jika tidak menyampaikan AJB? atau bagaimana cara pembuktian kalo rumah tersebut bukan harta gono gini. Terima kasih sebelumnya pak.
Tanggapan
Ibu Ana
Untuk mengetahui riwayat pemilikan suatu tanah, bisa dilihat dari AJB dan sertipikat. Di dalam sertipikat dapat dilihat asal dari pemilikan.
Misalnya:
– Kolom asal persil; tertulis asal persil tersebut
– Kolom penunjuk: tertulis nomor AJB
– Pada halaman “pendaftaran peralihan hak, pembebanan dan pencatatan lainnya”. : tertulis proses peralihan tanah.
Saya dapat memahami jika notaris/PPAT meminta dokumen tambahan untuk meyakinkan kepemilikan atas tanah tersebut. Meskipun di sertipikat tertulis tahun 1999, bukan berarti proses pemilikannya adalah tahun 1999. Karena mungkin tahun 1999 adalah tahun terbitnya sertipikat sedangkan proses peralihan haknya terjadi sejak 1998 disaat ibu A masih berumah tangga.
Jika dokumen di kecamatan tidak ada, maka ibu Ana bersama dengan Ibu A dapat datang ke Kantor Pertanahan setempat untuk melihat buku tanah atas sertipikat tersebut. Selaain itu minat dibuatkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kantor Pertanahan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Pak ismail… mohon pencerahannya saya lagi bingung. Saya beli tanah dari N dibyr tunai juni 2017, secara adat hanya dengan kwitansi bermaterai, 2 saksi masih hidup, serta foto dan video transaksi, N hanya memperlihatkn fotokopian segelnya saja, segel itu keluaran januari 2017 dan didenahnya ada garis pemotong antara rumah dengan ukuran tanah sekian dan tanah kosong dibelakang rumah dengan ukuran sekian yg saya beli hanya tanah kosong belakang rumah dengan ukuran sekian, N berjanji akan memecah segelnya dan membuatkn segel tanah atas nama saya yg sampai saat ini tidak dipenuhinya dengan bermacam alasan, saya baru tau ternyata pada 2017 itu segel tanah itu sedang berada ditangan bank karena N pinjam uang di bank, awal 2019 ada yg mengabarkan pada saya bahwa ada org bernama S dtg kelokasi tanah mengklaim tanah itu miliknya dan hendak menjualnya. S mengatakan dia memegang segel 2 lembar keluaran 2012 , ternyata N menggadaikn 2 lembar segel tanah dibelakang rumahnya (yg sudah saya beli) pada S untuk pinjam uang, tapi karena pembyran N macet pada S maka S pun mencari tanah itu dan hendak menjualnya. Setelah saya telusuri ternyata 2 segel tanah itu segel lama sebelum N memperbaharui segelnya supaya asetnya jadi satu ( rumah dan 2 tanah) yaitu segel 2017 tadi, saat ini segel asli keluaran 2017 tadi berada ditangan Y karena Y menebuskn segel itu dibank dan membeli bagian rumah N, jadi satu segel ada dua org , saya mau memecah segel ditgn Y supaya kami msg2 membuat segel atas nama kami sendiri terkendala,karena segel 2012 ditangan S tadi, kami sudah berembug didepan kepala desa, saya mencoba jelaskn saya sudah membeli tanah itu tapi S bersikeras tanah itu miliknya dia yg kuat karena segel ada ditgnnya dan bahkan nantangi saya kemanapun saya bawa masalah ini tetap dia yg menang, parahnya lg kepala desa aparat setempat, lebih mendukung S karena segel ditgnnya mereka menyayangkan saya beli tanah kenapa segelnya tidak langsung direbut atau diambil,mereka menyamakn dengan beli kendraan bermotor kalau tidak ada BPKBnya saya tidak ada kekuatan apa2.
Apa benar pak saya tidak ada hak pada tanah itu ?
Apa yang harus saya lakukn kalau kepala desanya saja lebih mendukung S?
Tanggapan
Ibu Liani
Secara singkat dapat kami jelaskan bahwa kedudukan S adalah hanya sebagai pihak penerima jaminan, S bukan pemilik tanah. Apabila N tidak mampu membayar pinjaman kepada S, S tidak dapat mengambil begitu saja tanah N. S hanya dapat meminta pelunasan melalui jalur hukum. Cara yang dapat ditempuh S adalah dengan dua kemungkinan, yaitu: (1) jika tanah tersebut sudah dijaminkan dengan Hak Tanggungan, maka S dapat meminta penjualan secara lelang; (2) jika tanah belum diikat dengan Hak Tanggungan, maka S harus mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk meminta pelunasan utang N. Jadi, S tidak dapat sepihak mengaku sebagai pemilik tanah N.
Permasalahan yang ibu sampaikan memerlukan pemeriksaan lebih rinci atas semua fakta dan bukti yang ada.
Oleh karena itu, kami menyarankan agar masalah ini dibawa ke jalur hukum yaitu melalui gugatan perdata. Ibu dapat menggugat N atas dasar perbuatan melawan hukum karena menjual tanah yang sedang dijaminkan kepada S dan kepada bank. Perbuatan melawan hukum dari N adalah karena tidak secara jujur menjelaskan keadaan tanah yang sebenarnya.
Demikian, semoga bermanfaat.
Salam
Ismail Marzuki
Siang Pak ,
saya mau menanyakan masalah pembuatan sertifikat , sekitar thn 80an Bapak saya ada membeli tanah kemuadian di bangun rumah , pada saat mau membuat sertifikat semua surat2 nya hilang termasuk kwitansi pembeliannya , jadi kita tidak punya bukti apa2 , yang kami punya hanya bukti pemasangan lisrik dan pembayaran PBB , apa yang harus kami lakukan aga kami dapat membuat sertifikat atas tanah tersebut sedangkan penjual tanahnya sudah lama meninggal dan ahli warisnya sudah pindah dari kampung kami .
SEbelumnya terima kasih Pak atas tanggapannya …
Wassalam …
Tanggapan
Bapak Galuh
Untuk melakukan pedaftaran hak atas tanah baru (pensertipikatan) memang dibutuhkan persyaratan dokumen-dokumen. Akan tetapi mengacu pada PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimungkinkan bagi masyarakat untuk melakukan pendaftaran jika dokumen kurang lengkap.
Pasal 24
(1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluanpendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Demikian, semoga bermnafaat.
Ismail Marzuki
Dear Pak Is,
Mohon Bantuan dan Arahanya Pak Is.
1.Bagaimana cara agar kita tau apakan tanah tersebut sudah di jual atau belum?dikarenakan saya tidak bisa mendapatkan informasi dari penjaga kebun tersebut,dan siapa pun.Nah saya mempunyai pikiran, Apakah saya harus ke BPN Badan Pertanahan Nasional) untuk menayakan tanah tersebut sudah laku atau belum?
2.Jika kita membuat janji lisan atau kesepakatan untuk bagi hasil jika tanah tersebut laku,komisinya di bagi-bagi 4org.Nah tanah tersebut laku,tetapi 2 org ini melanggar kesepakatan tersebut dan cuma hanya diam” saja tanpa sepengetahuan saya dan si A bahwa mereka mendapatkan komisi. apakah sangsinya gimana kalau menurut pandangan hukum?dan saya harus berbuat apa,dikarekan saya juga sudah menyumbangkan kontribusi dana ke 2 org tersebut untuk membantu biaya operasional mereka.
Tanggapan
Bapak Eko
1. Untuk mengetahui status kepemilikan suatu bidang tanah, Bapak dapat mencari informasi dari Kelurahan atau dari Kantor Pertanahan setempat.
2. Tindakan yang dilakukan 2 orang tersebut merupakan ingkar janji. Bapak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Yth Bpk Ismail
Saya punya seorang kakek, memiliki 3 anak ( 2 perempuan dan 1 laki2). Kakek saya ini sedang berada dalam keadaan yang dikompor-kompori oleh orang lain untuk menjual tanahnya. Dan kakek saya ini kurang peduli terhadap anak lakinya. Ketakutan Bapak saya adalah kakek nanti menjual tanahnya. Apakah kakek saya ini bisa menjual tanahnya tanpa sepengetahuan anak lakinya? kami sekeluarga beragama hindu
Tanggapan
Bapak Suardika
Yang harus diperhatikan pertama kali adalah mengenai kepemilikan atas tanah tersebut.
1. Apakah tanah tersebut mutlak milik Kakek 100% ? Misalnya karena tanah tersebut adalah harta bawaan kakek sebelum menikah, atau tanah tersebut adalah hasil pembagian warisan yang menjadi hak kakek; atau
2. Apakah tanah tersebut merupakan harta bersama antara Kakek dan Nenek?. Jika tanah tersebut harta bersama, berarti ada hak nenek sebesar 50% dari tanah tersebut.
Apabila tanah tersebut adalah sebagaimana disebut dalam nomor 1 di atas, maka Kakek berhak bertindak secara hukum atas tanah tersebut, termasuk menjual, tanpa persetujuan siapapun.
Apabila status tanah tersebut sebagaimana dimaksud nomor 2 di atas, maka masih ada bagian nenek 50%. Bagian nenek tersebut diwariskan kepada anak-anak dari Kakek dan nenek. Jadi jika Kakek akan menjual tanah tersebut, perlu “persetujuan nenek”. Jika nenek sudah meninggal maka persetujuan tersebut diberikan oleh ahli waris nenek.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Yth.Bp. Ismail Marzuki
Sy baru saja mendapatkan tanah waris keluarga.setelah sy cek ternyata orang tua sy telah meng AJB kan tanah yg merupakan hak sy kepada kk tertua sy.bagaimana cara nya supaya hak tanah yg telah ber ajb kan kk sy itu kembali lagi ke sy.
Tanggapan
Ibu Fitri
Pertanyaan Saya adalah, kapan tanah tersebut di AJB-kan ke atas nama kakak Bu Fitri? Apakah AJB itu dibuat sebelum Pewaris wafat? atau sesudah Pewaris wafat?
Jika AJB itu dibuat setelah Pewaris wafat dan tanah tersebut merupakan bagian ibu, maka ibu dapat meminta pembatalan atas AJB tersebut melalui pengadilan.
Jika AJB tersebut dibuat sebelum Pewaris wafat, berarti tanah tersebut bukan bagian dari harta yang diwariskan. Meskipun tanah tersebut bukan merupakan warisan, tanah yang diberikan sebagai hibah kepada Kakak Ibu Fitri dapat diperhitungakn sebagai warisan berdasarkan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam. Jadi, seluruh harta Pewaris dihitung kembali dan ditambah dengan tanah yang dihibahkan kepada Kakak bu Fitri tersebut. Hasil penghitungan tersebut baru dibagikan kepada seluruh ahli waris.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Yth. pak Ismail,
Saya membeli sebidang tanah kaplingan kepada si A, dengan surat sertifikat, dengan perjanjian ada jalan selebar 4 mr, sepanjang 60 m, menuju lokasi tanah tersebut dan ybs. telah menunjukkan surat perjajian izin lewat tanpa ada batas waktu yang ditentukan dengan nilai sebesar Rp. 42.500.000 kepada si B. Dan beberapa tahun kemudian si B memportal jalan masuk tersebut, dengan syarat kalau lewat harus membayar sesuai dengan keinginannya. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah kami pembeli tanah kaplingan tersebut dapat memperkarakan si B atau si A ke Pengadilan, mohon jawabannya trims.
Tanggapan
Bapak Syaifan
Dalam hukum, perjanjian yang dibuat berkaitan dengan izin melewati pekarangan disebut “hak servituut” atau Pengabdian Pekarangan.
Hak servituut adalah beban terhadap suatu pekarangan untuk keperluan pekarangan lain yang berbatasan. Dalam hak servituut ini seorang pemiik pekarangan memberikan hak untuk melintasi tanah untuk kepentingan tanah yang berbatasan. Misal, B mengizinkan orang-orang menggunakan tanahnya untuk dilintasi oleh orang yang akan ke tanah A.
Hak ini adalah hak kebendaan sehingga hak tersebut tetap melekat meskipun tanahnya dijual kepada pihak lain. Dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 674 – 710.
Jadi, si B dilarang untuk memportal tanah tersebut.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
saya mau tanya pak,..permasalahan tanah, orang tua saya membeli tanah pada tahun 1975 sejumlah 4 bidang letaknya sejajar ketika tahun 2013 orang tua saya menjual tenyata satu bidang dari 4 di klaim atas nama PT. ketika kami telusuri ternyata PT. membeli dari orang lain yang tidak ada sangkutan keluarga dengan kami/orang lain dah telah memiliki AJB lalu kami melakukan musyawarah dengan pihak penjual dan PT ternyata orang tersebut tidak merasa menjual sedangkan pihak PT. bersikeras mempertahankan tanah tersebut yang seudah di AJB kan sama pihak PT. pertanyaan saya apa ada kekuatan hukum pihak keluarga untuk menggugatnya, tolong dikasih solusinya atas permasalahan tersebut, terimaksih atas perhatinannya ….
Hormat Saya
Lindu Adjie
Tanggapan
Bapak Lindu Adjie
Setiap transaksi jual beli tanah harus dibuktikan dengan Akta Jual Beli. Maka untuk mengetahui apakah seseorang atau PT benar-benar telah membeli/menjual sebidang tanah, PT tersebut harus membuktikan adanya AJB, dari AJB bisa diketahui siapa yg menjual tanah tersebut.
Sepanjang keluarga Bapak Lindu memiliki bukti atas kepemilikan atanah tersebut dan belum pernah menjual kepada pihak lain (PT) maka Bapak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Dear Pak Ismail,
Ok Pak, terima kasih banyak atas penjelasannya. Luar biasa. Semoga makin sukses terus ya Pak dan tetap rendah hati utk bisa menanggapi pertanyaan2 kami yg “buta” hukum.
Tuhan memberkati.
Hormat saya,
Ibu Anna
Tanggapan
Ibu Anna
Terima kasih atas doanya. Semoga hal-hal yang saya sampaikan bermanfaat buat semua orang.
Ismail Marzuki
Dear Pak Ismail,
Pak Ismail, terima kasih banyak atas jawaban Bapak yg sangat cepat dan juga penjelasan Bapak. Dari penjelasan Bapak, saya memperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya rumah yg akan dijual Ibu “A” tsb tidak ada masalah utk dilakukan proses jual-beli baik PPAT akan membuat akta yg menyatakan Ibu “A” dgn status janda maupun sesuai contoh dr Bapak diatas.
Sekali lagi saya mohon penjelasan utk penegasan saja karena saya tidak paham hukum, jadi harta bawaan yg diperoleh sebelum menikah, meski tidak ada perjanjian pisah harta –> tidak termasuk harta gono gini ya Pak?
Yg artinya jika saya dan suami membeli rumah tsb, prosesnya tidak akan “cacat” hukum?
Karena saya mendapat informasi dari seorang teman bahwa jika pemilik rumah ada perkawinan dgn WNA maka rumah dan tanah tsb adalah milik negara karena WNA tidak boleh mempunyai tanah di Indonesia. Teman saya menginformasikan bahwa jika saya dan suami membeli rumah tsb maka akan “cacat” hukum.
Sekali lagi mohon penjelasannya Pak… Terima kasih banyak sebelumnya…
Hormat saya,
Ibu Anna
Tanggapan
Ibu Anna
Menurut UU Perkawinan, harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama suami dan isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan yang menyatakan sebaliknya. Dengan demikian, jika tidak ada perjanjian pisah harta, maka otomatis harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama.
Dalam permasalahan yang ibu ajukan, berarti yang terjadi antara Ibu A dengan Mr WNA adalah harta bersama. Akan tetapi meskipun harta bersama, rumah Ibu A tidak termasuk dalam harta bersama atau harta gono gini karena rumah tersebut dimiliki ibu A sebelum menikah dengan Mr WNA.
Mengenai pemilikan tanah oleh WNA, memang betul bahwa WNA tidak boleh memiliki tanah dengan status tanah Sertipikat Hak Milik. Akan tetapi dalam kasus ibu A, rumah/tanah tersebut bukan milik Mr WNA tetapi milik ibu A sehingga tidak terpengaruh dengan status kewarganegaraan Mr WNA
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Dear Pak Ismail,
Pak, mohon penjelasannya atas status hukum utk kasus berikut ini :
Jika saya (WNI) dan suami (WNI) membeli sebuah rumah atas nama Ibu “A” (WNI) yg menikah dengan Mr. “B” (WNA), apakah ada masalah?
Detail jelasnya sbb :
Ibu “A” (WNI) sebelumnya menikah dengan Bapak “C” (WNI), mempunyai 2 orang anak dan kemudian bercerai (saya kurang tahu bercerai di tahun berapa).
Setelah bercerai, Ibu “A” (WNI) membeli rumah atas nama Ibu “A” sendiri di tahun 2008.
Kemudian Ibu “A” (WNI) menikah dengan Mr. “B” (WNA) di tahun 2009 dengan surat nikah di luar negeri (tidak ada surat nikah Indonesia) dan tidak ada perjanjian pisah harta.
Jika saya dan suami membeli rumah tsb, apakah ada masalah secara hukum?
Menurut notaris yg kami datangi, rumah tsb bisa diproses jual beli dengan cara : tidak menyebutkan mengenai suami Ibu “A” yg sekarang (yg merupakan WNA) dan karena tidak ada surat nikah di Indonesia, maka jual beli bisa diproses dengan status Ibu “A” sebagai janda cerai hidup.
Mohon tanggapannya utk kasus kami ini Pak, bantuannya sangat kami harapkan sekali.
Terima kasih banyak sebelumnya.
Salam,
Ibu Anna
Tanggapan
Ibu Anna
Berdasarkan informasi yang ibu sampaikan, setidaknya ada 2 bidang hukum yang berkaitan dengan pertanyaan yang ibu ajukan, yaitu: (i) hukum perkawinan; dan (ii) hukum pertanahan.
Hukum Pertanahan:
Mengacu pada hukum pertanahan, jika rumah yang di beli oleh ibu A telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka rumah tersebut sah sebagai milik ibu A. Sebagai pemilik, maka Ibu A berhak menjual tanah tersebut kepada siapapun.
Hukum Perkawinan:
Perkawinan yang terjadi di luar negeri diatur dalam Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Berdasarkan pasal 56 tersebut Ibu A dan Mr WNA wajib mendaftarkan perkawinannya tersebut di Kantor Catatan Sipil dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke Indonesia. Meskipun demikian, apabila tidak didaftarkan, UU tidak menyebutkan bahwa perkawinan tersebut menjadi tidak sah.
Dengan asumsi bahwa perkawinan Ibu A dengan Mr WNA adalah sah, bagaimana dengan proses jual beli rumah Ibu A tersebut?
Dari informasi ibu Anna, Ibu A memperoleh rumah tersebut tahun 2008 sedangkan perkawinan dengan Mr WNA tahun 2009. Dengan demikian, maka rumah ibu A tersebut termasuk dalam harta bawaan.
Pasal 35 (UU Perkawinan)
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Jadi, meskipun seandainya perkawinan ibu A dan Mr WNA tersebut sah secara hukum Indonesia, karena rumah ibu A tersebut adalah harta bawaan, maka ibu A berhak sepenuhnya menjual rumah tersebut tanpa persetujuan Mr WNA.
Di dalam akta jual beli, dapat disebutkan identitas ibu A bukan sebagai janda tetapi sebagai isteri dari Mr WNA. Sekedar contoh penyebutan di akta misalnya: (mohon konsultasikan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan membuat AJB-nya)
“Ibu A, ibu rumah tangga, dilahirkan di Jakarta, tanggal dd bulan mm tahun yyyy, bertempat tinggal di jalan abcde.
Menurut keterangannya:
a. Ibu A tersebut telah menikah dengan Mr WNA di Negara Amerika Serikat, berdasarkan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, sebagaimana dibuktikan dengan Marriage certificate tanggal dd1 bulan mm1 tahun yyyy, yang sampai dengan tanggal akta ini dibuat perkawinan tersebut belum didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
b. Rumah yang menjadi objek jual beli ini diperoleh oleh Ibu A tahun 2008 yaitu sebelum dilaksanakannya perkawinan dengan Mr WNA, sehingga menurut hukum rumah tersebut merupakan harta bawaan ibu A.”
Kalimat-kalimat tersebut di atas adalah contoh dari saya untuk dimuat dalam AJB. Pada pelaksanaannya bergantung pada PPAT, apakah mau menggunakan kalimat seperti tersebut atau tidak.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Assalammualaikum Wr. Wb.
Saya mohon bantuannya kepada pak Ismail bagaimana menanggapi masalah saya seperti berikut :
1. Ayah saya meninggl dunia pada Tahun 2010 dan meniggalkan sebuah tanah yang diatasnya berdiri tempat usaha beliau… Tanah tersebut sudah bersertifikat atas nama Ayah saya begitu juga dengan badan usahanya… Namun ketika ayah meninggal saudara-saudara beliau (Kakak Ayah) menghendaki tanah tersebut dikembalikan kepada mereka.
2. Mereka beranggapan tanah tersebut adalah hibah dari kakek (orang tua Ayah) kepada ayah sehingga mereka mau hibahnya tersebut dibatalkan… Sedangkan Ayah telah merubah surat hibah tersebut menjadi sebuah sertifikat atas nama ayah saya pada tahun 2007…
3. Saat ini saya dilaporkan sebagai tersangka atas masalah ini dikarenakan tidak mau memberikan tanah tersebut dan proses hukumnya berada di Pengadilan Tinggi, sebelumnya di Pengadilan Daerah saya dibebaskan atas segala tuduhan dan dinyatakan menang (untuk hal ini saya dimintai uang yang tidak sedikit oleh oknum)…
4. Kemudian Pihak lawan (saudara Ayah saya) mengajukan banding dan permasalahan hukum masuk ke pengadilan tinggi (disini saya diimingi kemenangan dengan syarat saya harus membayar sejumlah uang jika tidak maka pihak lawan yang katanya telah menyetor sejumlah uang akan dimenangkan)… lalu saya berfikir jika saya membayar dan dimenangkan maka pihak lawan masih bisa mengajukan kasasi maka saya urungkan membayar sejumlah uang tersebut, dan benar saja seperti dugaan saya… saya dinyatakan kalah dan bersalah…
5. Saat ini saya sedang mengajukan kasasi… namun saya masih bingung apakah saya harus juga bermain uang ? hati saya enggan untuk melakukan hal ini hati nurani saya menolak untuk melakukan sogok dan semacamnya, Namun kata pengacara dan orang2 yang saya temui mereka bilang emang seperti ini hukum di Indonesia…
Pertanyaan saya adalah:
1. Apa memang benar di Indonesia kita tidak bisa mendapatkan keadilan tanpa perlu membayar?
2. Apa benar, sebenar apapun kita apabila pihak lawan menyetorkan sejumlah uang maka kita akan kalah ?
3. Bagaimana menanggapi hal seperti ini ? adakah badan Hukum atau semacamnya untuk melaporkan hal tersebut ? Dan bagaimana mekanismenya jika ada ?
Terima Kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca curhatan saya 😀
Semoga Indonesia bisa maju dan terbebas dari segala tindak kecurangan…
Best Regards,
Aie
Tanggapan
Wa’alaikumussalam
Bapak Aie
Saya memahami kegalauan bapak tentang penegakkan hukum di negeri kita. Tetapi saya masih percaya bahwa pengadilan kita masih dapat dijadikan sarana mengembalikan rasa keadilan yang terkoyak. Adanya berita-berita di media mengenai prilaku negative aparat hukum jangan membuat kita berhenti untuk mempercayai pengadilan.
Saya tidak merekemondasikan bapak untuk menyogok dalam berperkara di pengadilan, bahkan saya melarang bapak melakukan hal tersebut.
Demikian, semoga bermanfaat
Ismail Marzuki
Assalammualaikum pak is
Saya minta pencerahan dari pak is
Pada waktu adik saya sakit dia meminta tolong kepada saya untuk menalangi seluruh biaya rumah sakit selama adik saya berobat dirumah sakit, nanti segera di ganti kalau tanahnya yang mau di jual sudah laku, segera saya cari pinjaman kepada teman saya kurang lebih 80 jt. Untuk biaya adik saya. Tapi allah berkehendak. Lain adik saya berpulang ke pangkuan ilahi. Adik saya memiliki anak 2 yang paling besar berumur 16 th dan yang. Kedua 12 thn sedangkan suaminya adik saya tidak bertanggung jawab dan sudah pergi entah kemana. Yang jadi masalah buat saya
1. Apakah bisa saya menjualkan tanah milik adik saya. Yang sebahagian uangnya untuk mengganti uang yang saya pinjam dari teman untuk keperluan biaya berobat adik saya tersebut. Dimana status surat tanah tersebut. Akta tanah atas nama. Almarhum adik saya tersebut.
2. Jika bisa bagaimana prosesnya menjualnya, dan jika tidak bisa apa solusi yang terbaik agar dapat tanah tersebut bisa terjual.
Terima kasih. Saya mohon pencerahan dari pak is.
Wassalam mualaikum wr wb.
DODHI
Tanggapan
Bapak Dodhi
Wa’alaikumussalam
Menjawab pertanyan-pertanyaan Bapak, saya sampaikan sebagai berikut:
1. Yang dapat menjual tanah adalah pihak pemilik tanah tersebut.
Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Jika secara formal tanah itu sudah bersertipikat, maka yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum di sertipikat tersebut. Apabila pemilik atau nama yang tercantum dalam sertipikat tersebut wafat, maka yang berhak menjual adalah para ahli warisnya (suami dan anak-anak). Dengan demikian, Bapak Dodhi tidak berhak untuk menjual tanah tersebut.
2. Agar tanah tersebut dapat terjual, maka satu-satunya solusi adalah dengan meminta baik-baik kepada ahli waris, dan menyebutkan alas an mengapa tanah tersebut harus dijual yaitu untuk melunasi hutang yang digunakan untuk biaya adik Bapak selama sakit.
Demikian, semoga bermanfaat
Wassalam
Ismail Marzuki
assalamualaikum..
Kasus 1 : keponakan bpk sya meminta harta warisan bagian orng tuanya (sdh meninggal) yg menurut mereka masih ada. Memang tanah itu masih ada namun org tua bapak saya menuliskan surat wasiat bahwa tanah itu sebagai pengganti tanah bapak saya yg dijual oleh nya wlaupun tanah penggantinya lebih kecil. Surat itu sdh ditunjukkan ke keponakan bpk sya namun mereka tdk mau mengerti.dan tanah tsb jg sdh dijual oleh bpk saya krn ditinggali o/ org lain namun di suruh pindah tdk mau jg padahal sdh diberi kelonggaran waktu selama 2 thn. Sebagai penggantinya bapak sya memberikan semua warisan org tuanya yg berada diwilayah lain. Namun ketika keponakannya mengurus tdk bs walaupun memakai surat kuasa krn bapak saya masih hidup.
Kasus 2 : bpk sya dan warga mempercayakan bpk Rt dan Rw (pd saat itu) untuk membuat serifikat tanah. Krn sdh lama dan memakan byk biaya (krn selalu diminta uang secara terus menerus) namun belum jadi jg, perwakilan wrg inisiatif mengurus sendiri ke bag pertanahan. Namun mereka hanya bs membuat 1 sertifikat saja u/ 1tanah/wrga, bapk saya mengurus 2 tanah alhasil hanya 1 saja yg ada suratnya. Permasalahnya, ketika diminta akta jual beli u/ tanah yg satunya lagi ( krn kemarin diminta yg asli) bpk sya dipimpong antara Rt, Rw, kelurahan dan tdk lama Rt/Rwnya meninggal. Bpk sya jg tdk punya fotocopi dr surat sbt.
Pertanyaannya :
1. Bagaimana saya menyikapi persoalan diatas bila dipersoalkan lg ketika bpk sya sdh tdk ada? Apakah keponakan bpk saya ada hak jg ditanah yg diperebutkan itu? Mengingat mempersoalkannya ketika bpknya keponakan sdh tdk ada.
2. Bskah membuat aktajual beli/sertifikat tanah yg baru mengingat penjual sdh tdk ada?
Mohon pencerahannya
Sebelumnya terimaksih bayk dan mohon maaf sangat banyak.
Wassalam…
Tanggapan
Ibu Rini
1. Yang dimaksudkan dengan harta warisan adalah harta yang dimiliki oleh pewaris ketia dia masih hidup dan ditinggalkan oleh pewaris ketika dia meninggal dunia. Dengan demikian, tanah yang saat ini dikuasai oleh orang tua ibu sebetulnya bukan harta warisan dari pewaris tersebut karena ketika pewaris itu masih hidup tanah tersebut sudah dialihkan kepada orang tua ibu, meskipun proses peralihannya masih sederhana hanya dengan selembar kertas.
Agar tanah yang ada sekarang tidak akan dipersoalkan lagi dikemudian hari, pada saat ibu menyerahkan tanah pengganti kepada keponakan tersebut, agar dibuat surat pernyataan atau pengakuan bahwa tanah yang ibu berikan adalah pengganti dari tanah yang sebelumnya.
Untuk kasus yang dihadapi oleh keluarga ibu yaitu tidak dapat memproses pengurusan tanah, mungkin penolakan tersebut terjadi karena surat kuasanya bermasalah. Saran saya, buat surat kuasa secara notaril sehingga surat kuasa tersebut bernilai pembuktian yang kuat.
2. Jika ibu kehilangan salinan akta jual beli, pada dasarnya asli akta jual beli tersebut tersimpan di pejabat Pembuat Akta Tanah saat dilakukannya transaksi jual beli. Ibu dapat meminta kepada PPAT tersebut foto copy atau salinan yang baru. Meskipun demikian, permasalahan akan muncul jika PPAT tersebut ternyata juga kehilangan asli AJB-nya.
Jika AJB juga tidak dapat ditemukan, ibu bisa kumpulkan bukti-bukti lain misalnya kuitansi, bukti pembayaran pajak tanah/PBB dan saksi-saksi yang mengetahui pemilikan tanah tersebut. Sebaiknya ibu langsung berkonsultasi dengan kantor pertanahan setempat.
Semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum Pak Marzuki,
Pak, Saya baru membeli tanah bersertifikat atas nama si A, tetapi tanah ini sebelumya sudah dijual kepada si B (keponakan si A) tanpa AJB (hanya kuitansi). Saya membeli tanah tersebut lewat si B (hanya dengan kuitansi) dan si B berjanji akan membantu proses balik nama sertipikat (si B akan membuat ajb dengan si A terlebih dahulu). Saya juga sebelumnya sudah menemui si A, tetapi dia hanya mau berurusan dengan si B, karena dia merasa sudah menjual tanah tersebut ke si B, akan tetapi ketika si B meminta tanda tangan untuk pembuatan AJB atau ataupun surat kuasa penjualan, si A tidak bersedia. Jadi Saya tidak bisa membuat AJB dengan si B untuk kepentingan balik nama. Saat ini si B masih berusaha untuk melobi si A agar mau tanda tangan. Yang ingin saya tanyakan (seandainya nantinya si A tetap tidak mau tanda tangan):
1. Antara si A dan si B, manakah yang bisa digugat ke pengadilan? karena si A tidak mau tanda tangan dan si B yang tidak bisa membantu proses balik nama Saya (padahal sebelumya sudah berjani).
2. Apakah ada cara lain agar sertipikat yang saya pegang tetap aman/tidak bisa diganggu (meskipun saya tidak bisa balik nama)?
Tanggapan
Bpk. Manaf
Wa’alaikumussalam
1. Pada dasarnya setiap orang dapat digugat sepanjang ada relevansinya dengan peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang terjadi. Akan tetapi dalam masalah yang bapak sampaikan, maka pihak yang relevan untuk digugat adalah B karena hubungan yang terjadi adalah antara Bpk Manaf dan B. dalam hal ini B dapat digugat karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan menjual tanah yang bukan hak B.
Meskipun B mengaku telah membeli tanah dari A dengan selembar kwitansi, akan tetapi transaksi tersebut belum memindahkan hak milik tanah dari A ke B.
Ketentuan Pasal 617 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani atau dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan.”
Mengacu pada pasal 617 KUHPerdata tersebut, yang dimaksud dengan akta otentik untuk pemindahan hak atas tanah adalah Akta jual Beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Terhadap A, Bapak Manaf tidak memiliki hubungan hukum dalam kaitannya dengan transaksi jual beli tersebut, kecuali jika pada saat jual beli antara Bapak Manaf dengan B melibatkan A.
2. Jika sekadar untuk melindungi kepentingan Bapak Manaf dari kemungkinan adanya tuduhan penguasaan sertipikat secara melawan hukum, maka Bapak Manaf meminta agar B membuat surat pernyataan bahwa sertipikat tersebut diserahkan sah kepada Bapak Manaf, dan bahwa B memperoleh sertipikat tersebut secara sah dari A berdasarkan transaksi jual beli yang dibuktikan dengan kwitansi. Akan tetapi surat tersebut tidak membuktikan bahwa Bapak Manaf selaku pemilik dari tanah tersebut.
Saran saya, sebaiknya Bapak Manaf beserta B bersama-sama berbicara dengan A untuk menyelesaikan masalah ini. Jika keberatan dari A adalah masalah biaya (pajak, biaya PPAT, biaya balik nama) maka masalah biaya ini dapat ditanggung berdua antara Bapak Manaf dengan B, atau jika memang nilai biaya tidak terlalu besar, tidak ada salahnya jika Bapak Manaf mau berkorban sedikit menanggung biaya tersebut. Tujuan utama adalah bagaimana agar tanah tersebut sah menjadi milik Bapak Manaf. Jika jalan perundingan dapat ditempuh (meskipun seandainya bapak harus menanggung biaya-biaya) itu akan lebih baik daripada berperkara di pengadilan yang tentunya memakan waktu lama dan menguras energy bapak.
Keputusan ada di tangan Bapak Manaf.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki
Assalamualaikum pak, sekitar 23 tahu yang lalu ibu saya membeli tanah+rumah dari kakak ibu saya, namun sertipikat tanahnya masih berada di bank karena kakak ibu saya tersebut meminjam uang ke bank dengan jaminan tanah tersebut. dan baru pada tahun 2012 sekarang sertipikat tersebut bisa di terima oleh ibu saya. sertipikat tersebut ada dua yaitu SHT dan SHM. pertanyaannya: jika mau balik nama caranya harus bagaimana? apakah tanda lunas dari bank juga harus di bawa? surat apa saja yang harus dipersiapkan?
Tanggapan
Wa’alaikumussalam
Bapak d3dens,
Dari pertanyaan bapak, diketahui bahwa terjadinya transaksi jual beli tanah 23 tahun yang lalu adalah ketika sertipikat sedang berada dalam penguasaan bank. Dengan demikian, saya berasumsi ketika itu jual belinya tidak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena biasanya PPAT akan meminta sertipikat asli ditunjukkan ketika dibuatnya akta jual beli.
Dengan asumsi tersebut, maka jika akan melakukan balik nama, terlebih dahulu harus dibuat akta jual beli dihadapan PPAT. AJB tersebut ditandatangani oleh Penjual (Kakak-nya ibu) dan ibu Pak d3dens selaku Pembeli.
Dokumen yang harus dipersiapkan antara lain: KTP Penjual dan Pembeli, Pajak bumi dan bangunan, SHM, SHT, dan keterangan lunas dari bank. Mengingat dalam SHM tersebut masih ada hak tanggungannya, maka hak tanggungan tersebut harus di roya. Seluruh proses roya dan balik nama dilakukan melalui PPAT.
Demikian, semoga bermanfaat
Wassalam
Ismail Marzuki
APAKAH PEMBELIAN RUMAH CUKUP DIBUKTIKAN DENGAN KWITANSI ?
assalamualaikum..
begini pak sekitar 3 bulan yang lalu, orang tua saya membeli sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah saya yang saya tempti saat ini. pemilik rumah tersebut kebutalan seorang chainesse. sebelum dibeli oleh orang tua saya, rumah tersebut disewakan oleh pemilik tersebut kepada orang lain. dan begitu kontrak rumah itu selesai kemudian dibeli oleh orang tua saya.
pembayarannya pun sudah dibayar cash pak, dengan dilengkapi kuitansi pembelian dan akta rumah yang kemudian di berikan kepada pihak notaris yang kami sepakati bersama.
namun, hingga saat ini proses balik nama di pihak notaris belum rampung hingga saat ini pak. berhubung orang tua saya tidak tahu menahu soal hukum jadi proses legalisasi rumah itu sampai saat ini belum kunjung selesai.
adapun alasan dari pihak notaris, karena prosedur balik nama kepemilikan orang chineese membutuhkan waktu yang cukup lama pak. disamping itu katanya belum ada tanda tangan dari pihak keluarga penjual yang sebagian berada di AS.
pak kami mohon bimbingan dari bapak, karena kami ini adalah orang yang tidak mengetahui terlalu dalam soal hukum. yang ingin kami tanyakan disini adalah:
– pak, apakah pembelian rumah cukup dengan menggunakan kwitansi yang ditanda tangani oleh pihak penjual saja?
-apakah ada kemungkinan rumah yang di beli ini menjadi barang sitan negara, karena pemiliknya seorang chenise?
-apa saja langkah saya pak dalam mengantisipasi tindak penipuan yang dilakukan oleh penjual?
kami mohon bapak berkenan untuk menjawab pertanyaan yang menjadi bahan kegelisahan keluarga kami pak. semoga apa yang kami sampaikan kepada bapak menjadi hal yang berguna bagi kami. atas pertolongan dan bimbingannya kami ucapkan terima kasih pak.
wasalamualaikum wr.wb
TANGGAPAN:
APAKAH PEMBELIAN RUMAH CUKUP DIBUKTIKAN DENGAN KWITANSI ?
Wa’alaikumussalam
Mba Iis
Jawaban atas pertanyaan 1:
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 thn 1997 tentang Pendaftaran Tanah setiap peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak cukup hanya dengan kwitansi. Kwitansi hanyalah bukti telah terjadi penyerahan uang dari seseorang kepada orang lainnya.
Jawaban atas pertanyaan 2:
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 (UU Agraria), suatu tanah hak milik tidak boleh dimiliki oleh WNA. Apabila dalam waktu 1 tahun WNA tersebut tidak mengalihakn tanah tersebut kepada WNI, maka hak atas tanah tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara. Jika melihat kasus yang mba Iis hadapi, harus dipastikan apakah penjual tersebut WNA atau WNI?
Jawaban atas pertanyaan 3:
Sebelumnya saya akan bertanya kepada Mba, apakah keluarga Mba sudah menandatangani akta jual beli dihadapan PPAT dengan penjual? Jika sudah, maka keluarga mba tinggal menunggu proses pendaftaran tanah di BPN (balik nama). Jika akta jual beli belum bisa dibuat, maka sebaiknya buat perjanjian tertulis dihadapan notaris berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang memuat janji penjual untuk menjual tanahnya kepada keluarga Mba. Selain itu mintakan surat perjanjian serah terima rumah berikut tanah agar mba dapat menempati rumah tersebut secara legal. Surat perjanjian serah terima rumah tersebut memang tidak lazim dalam proses jual beli yang normal, namun untuk kasus ini diperlukan agar Mba tidak dianggap menyerobot tanah seandainya kasus ini berkepanjangan.
Mengenai keperluan tanda tangan keluarga penjual yang masih berada di AS, asumsi saya adalah tanah tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh keluarga penjual, kemungkinan tanah tersebut adalah warisan sehingga dibutuhkan persetujuan semua ahli waris. Jika ahli waris ada di AS, maka mereka harus membuat surat kuasa untuk menjual tanah tersebut. Surat kuasa yang dibuat di AS harus dilegalisasi oleh notaris di AS dan perwakilan resmi RI di AS (kedutaan).
Demikian, semoga bermanfaat
Wassalam
Ismail Marzuki
Siang pak…
Sya mau bertanya tentang sebidang tanah milik almarhum bpk sya.
Tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat hnya ada pbb nya saja. Krna pada saat bpk saya sedang mengurus sertifikat untuk tanah tersebut dia mengalami sakit hingga meninggal jadi pengurusan untuk sertifikatx terhenti krna lurah yg mengurus sertifikat trsebut juga menibggal.
Yg saya binggung tiba2 2tahun ini 2019-2020 ada yg membayar kan pbb tanah trsebut dan mengaku sebagai pemilikx.
Apakah saya atau ibu saya sebagai anak yg punya tanah tersebut bisa mengklaim tanah tersebut dengan bermodal kan pbb saja???
Tanggapan
Ibu Raodah
Untuk memastikan suatu bidang tanah dimiliki oleh seseorang, maka alat bukti yang kuat adalah berupa sertifikat hak atas tanah. Dalam sertifikat tercantum nama pemegang hak tersebut.
Apabila terhadap suatu bidang tanah belum bersertifikat atau belum terdaftar, maka pihak yang merasa memiliki harus memiliki bukti yang mendukung pengakuannya tersebut.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PP Nomor 24 Tahun 1997”), dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan mengenai bukti-bukti yang dapat digunakan sebagai dokumen untuk pendaftaran tanah atau pensertifikatan tanah. Bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berikut Penjelasannya tersebut, dapat kita jadikan acuan bagi seseorang yang akan mengklaim suatu bidang tanah.
Bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah:
a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
di daerah yang bersangkutan; atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau
h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau
i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau
j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Apabila bukti-bukti tersebut tidak tersedia, maka diperkuat dengan kehadiran saksi. Jika bu Raodah hanya memiliki bukti PBB saja, maka harus diperkuat dengan saksi-saksi yang mengetahui sejarah pemilikan tanah tersebut.
Berkaitan dengan pertanyaan Ibu, jika ada pihak lain yang mengaku sebagai pemilik tanah, maka orang tersebut harus mampu membuktikan dasar pengakuan. Apakah orang tersebut memiliki sertifkat tanah? Atau hanya PBB saja?
Jika orang tersebut memiliki sertifikat atau PBB atas nama orang tersebut, maka orang tersebut harus membuktikan sejak kapan sertifikat atau PBB tersebut diatasnamakan dia? Pakah pernah membeli dari keluarga ibu?
Jadi, langkah awal yang harus dilakukan adalah bertemu dengan orang tersebut untuk mengetahui kebenaran data. Jika keluarga bu Raodah merasa belum pernah menjual tanah tersebut, maka ibu dapat menggugat pihak tersebut ke pengadilan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Salam
Ismail Marzuki