Mengenang Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Ungkapan ini sangat pas sekali didengungkan untuk menggambarkan peristiwa hari Sabtu 29 Nov 2008 kemarin. Hari itu alumnus FH Unpar meresmikan patung Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo. Sebuah patung memang hanya berupa benda mati, bahkan nilai sebuah patungpun jika diukur secara material dari bahan baku pembuatannya bisa bernilai bisa pula tidak. Akan tetapi dalam kaitannya dengan patung Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo, nilainya tidak terletak pada patung itu tetapi pada sosok Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo sendiri. Bukan tanpa alasan jika alumnus FH Unpar mengabadikan Pak Profesor dalam bentuk patung mengingat jasa-jasa beliau yang besar dalam memajukan pendidikan hukum di FH Unpar dan juga dalam penegakan hukum di Indonesia.

Dalam paparannya saat peresmian patung, Prof. DR. B. Arief Sidharta, S.H., mantan Dekan FH Unpar menceritakan sebuah sejarah hidup Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo yang dapat kita teladani. Ada satu cuplikan paparan yang sangat berkesan yaitu episode ketika Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo menjabat Hakim di Garut. Ketika Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo menjabat hakim pada masa penjahahan Jepang, situasi ekonomi saat itu mirip kondisi Indonesia saat ini yaitu adanya kelangkaan minyak tanah. Bagi warga Garut, minyak tanah harus didatangkan dari kota tetangganya yaitu Tasikmalaya. Kondisi transportasi saat itu masih sederhana, tetapi sesederhana apapun, tetap saja membutuhkan biaya terlebih lagi dalam kondisi langkanya BBM, maka biaya transportasi juga ikut naik yang berakibat pada bertambahnya harga minyak tanah. Hukum positif pada saat itu melarang pedagang untuk menaikkan harga ketika terjadinya kelangkaan. Inilah masalah yang dihadapi pedagang minyak tanah saat itu, jika harga dinaikkan maka ia terkena ancaman pidana sedangkan jika tidak dinaikkan ia akan rugi. Sang pedagang akhirnya menjual minyak ke Garut dengan harga yang sudah naik dan hal ini yang membuat ia ditangkap aparat  dan kemudian diadili. Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo sebagai hakim yang mengadili perkara tersebut membebaskan terdakwa dari ancaman hukuman dengan menggunakan prinsip keadilan meskipun hukum positif yang berlaku menyebutkan perbuatan menaikkan harga tersebut adalah terlarang. Prinsip keadilan yang digunakan dengan pertimbangan jika pedagang yang membawa minyak dari Tasikmalaya tidak menaikkan harga maka pedagang tersebut menderita kerugian dan hal ini berarti ada ketidakadilan bagi sang pedagang. Akibat putusan tersebut  Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo hampir ditangkap oleh tentara Jepang karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan pemerintah. Akan tetapi Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo tidak jadi ditahan. Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa putusan yang diambil justru untuk menyelamatkan pemerintahan saat itu yaitu pemerintahan penjajahan Jepang sebab jika sang pedagang dihukum maka rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintahan penjajahan Jepang.

Itulah sekilas sejarah Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo, pelajaran yang dapat saya ambil dari cerita tersebut adalah bahwa hukum positip bukanlah segalanya, hukum positif  hanyalah satu dari bagian penegakan hukum. Dalam penegakan hukum kita juga dituntut untuk melihat sisi keadilan bagi pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Walau bagaimanapun juga kemampuan hukum positif  tidak mungkin dapat menjangkau semua hal karena akan ada saja hal-hal yang tidak tercakup dalam aturan tertulis yang bisa terjadi di dunia praktek. Disinilah letak kepekaan hakim dalam menilai suatu peristiwa atau perbuatan, yaitu kepekaan pada keadilan. Meskipun demikian bukan berarti kita harus mengabaikan hukum positif, hanya saja jangan terbelenggu olehnya. Aturan hukum dibuat untuk manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Kecuali hukum dari Allah, maka hukum buatan manusia masih mungkin terdapat ketidaksempurnaan dan tidak menjangkau rasa keadilan.

Terima kasih Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo atas ilmu yang engkau ajarkan kepada kami mahasiswa dan alumni Fakutas Hukum Unpar Bandung.

Tulisan ini dipublikasikan di Yang Ringan-Ringan. Tandai permalink.

0 Balasan pada Mengenang Prof. MR. Soediman Kartohadiprodjo

  1. Yth Rekan-Rekan fak. Hukum Unpar,
    Sebagai putera ketiga dari alm Bapak Soediman Kartohadiprodjo kami mengucapkan terimakasih atas “kehormatan” yang diberikan pada Ayah kami – dengan pembuatan patuing tersebut – Swecara pribadi saya sebenbarnya patung tidak berkesan bagi saya yang paling “saya dambakan” adalah ajaran yang diotinggalkan pada saat beliau aktif menjadi tenaga npengajar di Fak.Hukum UNPAR- Yaitu tentang Filsafat Pancasila – karena dasar pemikiran sangat berbeda dengan pemikir yang memberikan pikiran Pancasila di UNPAR – dan sayangnya pikiran atau ajarannya tidak berkembang dfi kampus – UNPAR harusnya BANGGA khususnya fakultas HUKUM nya dahulu tahun 1969/1970 an UNPAR cq fakultas Hukum didatangani oleh 2 orang Pejabat Tinggi Negara yaitu Wkl Ketua MPR Bapak Bapak Harsono Tjokro dan Anwar Tjokroaminoto – untuk mendapatkan penjelasan tentang Pemikiran Pantjasila yang dikembangkan di Fakultas Hukum UNPAR – yah belum lagi Pantjasila yang disebarluaskan ke SESKO -SESKO dari ABRI (seskoad,seskau dan seskopol) termasuk PEMDA Jabar zamannya Bapak Mashudi jadi Gubernur – yah sejak tahun 1978 hilanglah Ajaran tersebut dan sebab saya melihat para “tkoh Akademisi fak Hukum UNPAR yang angkatan diatas 80 an terrutama saya melihat tidak ada yang membaca Buku Pak Diman – tapi yah – beginilah keadaannya – ngakl ada yang datang lagi jadi sumber ilmu. Okery lain waktu mungkin dengan lain therma mungkin
    Wassalam Bambang Utojo, Angkatan 63 Fak Hukum UNPAR NIP 1791 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *