Judul tulisan di atas mungkin membingungkan. Apa yang dimaksud menunda balik nama tanah?
Ilustrasinya begini:
Tuan A memiliki Rumah (Tanah dan Bangunan) di Bekasi yang diperoleh Tuan A melalui fasilitas KPR dari bank pada tahun 2000. KPR Tuan A akan lunas pada tahun 2010. Pada tahun 2005, utang Tuan A ke bank masih ada sebesar Rp 200 juta. Karena sesuatu hal, tahun 2005 Tuan A bermaksud mengalihkan (menjual) Rumah tersebut kepada Tuan B dengan harga yang disepakati yaitu Rp 450 juta, dengan ketentuan uang sebesar Rp 250 juta dibayar oleh Tuan B kepada Tuan A kontan, dan sisanya sebesar Rp 200 juta akan dibayar Tuan B dengan cara angsuran ke bank untuk melunasi utang Tuan A pada Bank.
Karena Sertifikat tanah masih dijaminkan di bank, dan utang Tuan A akan dibayar secara angsuran oleh Tuan B, maka untuk peralihan rumah tersebut belum dapat dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Agar hak-hak Tuan B terlindungi, Tuan A dan Tuan B membuat dan menandatangani dokumen atau Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). PPJB ini pada intinya memuat klausul bahwa nanti, dikemudian hari jika utang Tuan A di bank telah lunas dan sertifikat tanah sudah tidak dijadikan jaminan, maka Tuan A berjanji akan menjual rumah tersebut kepada Tuan B.
Jual beli tersebut tanpa melibatkan bank, sehingga, pada catatan bank, nama Debitur (pihak yang berutang) dan nama pemilik rumah adalah masih Tuan A.
Pada tahun 2010, KPR Tuan A di bank sudah lunas, lalu Tuan A menyerahkan sertifikat tanah kepada Tuan B. Karena merasa hubungan Tuan A dengan Tuan B sudah sangat dekat dan bertetanggaan, ketika Tuan B menerima sertifikat dari Tuan A tidak dilanjutkan dengan pembuatan Akta Jual Beli dihadapan PPAT. Dalam benak Tuan B, AJB bisa dibuat kapan saja setiap saat. Asumsi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2010 adalah Rp 600 juta. Sampai dengan sekarang Tuan A dan Tuan B belum menandatangani AJB.
Itulah ilustrasi sebagai pengantar pembahasan kita.
Secara hukum transaksi yang dilakukan Tuan A dan Tuan B pada tahun 2005 adalah sebagai berikut:
- Tuan A dan Tuan B menandatangani Akta PPJB tahun 2005
- Akta PPJB bukan AJB sehingga akta PPJB tersebut bukan akta peralihan hak
- Karena belum ada peralihan hak, maka secara hukum sampai sekarang. pemilik Rumah adalah masih Tuan A meskipun secara fisik rumah sudah ditempati Tuan B
- Tahun 2005 tidak ada pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayar Tuan A, dan tidak ada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibayar Tuan B.
- Pada tahun 2005, untuk transaksi PPJB, Tuan B hanya membayar biaya akta notaris.
Pertanyaannya: Mengapa Rumah masih dianggap milik Tuan A dan sertifikat masih atas nama Tuan A? Padahal tahun 2005 Tuan B sudah membeli dan membayar lunas.
Dapat penulis jelaskan bahwa:
Mengacu pada ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, untuk transaksi jual beli harus dibuktikan dengan adanya AJB yang dibuat PPAT
Pasal 37 ayat (1)
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan tidak dibuatnya AJB, maka secara hukum dianggap belum ada perlaihan hak dari Tuan A ke Tuan B.
Pasal 32 ayat (1)
(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Jika tidak ada AJB, maka sertifikat hak atas tanah tidak dapat dibalik nama ke nama Tuan B. Dengan demikian secara hukum Tuan A masih sebagai pemilik dan namanya masih tercantum di sertifikat tanah.
Apa Resiko jika belum balik nama?
Dalam ilustrasi di atas, KPR Tuan A lunas tahun 2010, artinya pada tahun 2010 sudah dapat dibuat AJB.
Resiko yang akan dihadapi jika menunda balik nama:
- Resiko biaya-biaya Pajak dan BPHTB
PPh dan BPHTB dihitung dengan mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak. Semakin lama, maka NJOP atas suatu bidang tanah dan bangunan akan bertambah tinggi. Dengan demikian, kewajiban Penjual maupun pembeli untuk membayar pajak akan bertambah besar jika pembuatan AJB ditunda.
Resiko karena biaya pajak mungkin tidak akan terjadi jika tarif pajak ada perubahan dari yang sebelumnya besar menjadi lebih kecil. Misal berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2008 tarif PPh adalah 5% sedangkan berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 tarif adalah 2,5%. Akan tetapi meskipun tarif berkurang dari 5% menjadi 2,5%, resiko tetap ada jika NJOP meningkat beberapa kali dari sebelumnya.
- Resiko jika penjual berpindah tempat tinggal dan tidak dapat dihubungi
Salah satu syarat untuk dibuatnya AJB adalah pihak penjual dan pembeli harus hadir untuk menandatangani AJB. Jika tahun 2020 Tuan B akan membuat AJB maka Tuan A harus hadir dihadapan PPAT. Jika Tuan A tidak dapat hadir karena berpindah tempat tinggal, misal ke Papua, maka Tuan A dapat memberikan surat kuasa secara notaril. Permalsahannya adalah jika Tuan A berpindah tempat tinggal tetapi tidak diketahui keberadaannya.
- Resiko jika penjual meninggal dunia
Jika Tuan A selaku penjual meninggal dunia, maka Rumah tersebut menjadi hak para ahli waris Tuan A (isteri dan anak-anak). Jika ahli warisnya beritikad baik maka AJB dapat ditandatangani oleh para ahli waris Tuan A. Persoalannya adalah jika para ahli waris bersengketa soal harta warisan, maka diperlukan jalan berliku agar Rumah tersebut bisa dibalik nama ke atas nama Tuan B.
Dengan 3 (tiga) resiko yang mungkin akan dihadapi oleh pembeli, saran dari saya, segeralah melakukan balik nama atas tanah dan bangunan yang sudah dibeli.
Demikian, semoga bermanfaat.
Ismail Marzuki